Emil Dardak Gugat Masa Jabatannya yang Terpangkas 43 Hari ke MK, Pengamat: Kekuasaan Itu Candu!
SURABAYA | Barometer Jatim – Enggan jabatannya terpangkas, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak bersama 6 kepala daerah/wakil kepala daerah lainnya mengajukan permohonan uji materi Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
6 kepala daerah/wakil kepala daerah lainnya tersebut yakni Gubernur Maluku, Murad Ismail; Wali Kota Bogor, Bima Arya; Wakil Wali Kota Bogor, Dedie Rachim; Wali Kota Gorontalo, Marten Taha; Wali Kota Padang, Hendri Septa; dan Wali Kota Tarakan Khairul. Mereka menggandeng Visi Law Office sebagai kuasa hukum.
Khusus Emil, seharusnya baru mengakhiri masa jabatannya bersama Gubernur Khofifah Indar Parawansa pada 13 Februari 2024. Namun karena terbentur Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada, maka harus lengser lebih cepat pada 31 Desember 2023 atau terpangkas 43 hari.
Adapun bunyi Pasal 201 ayat (5) UU Nomor 10 Tahun 2016 yakni: Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023.
| Baca juga:
- Emil Dardak Gugat Masa Jabatan ke MK Tanpa Khofifah, Hakim Ingatkan soal Legal Standing: Wagub dan Gubernur 1 SK!
- Tak Mau Masa Jabatan Terpotong 43 Hari, Emil Dardak Gugat UU Pilkada ke MK!
- Terbentur UU Pilkada, Tahun Ini Masa Jabatan Khofifah sebagai Gubernur Jatim Berakhir
Menanggapi gugatan tersebut, Pengamat Politik Surokim Abdussalam menyebut bahwa kekuasaan itu candu, yang bisa melenakan karena mengandung banyak fasilitas dan privilege sehingga orang cenderung berada di zona aman dan nyaman serta takut kehilangan.
“Biasanya ini terjadi pada tipikal pejabat publik tipe pedagang yang mendasarkan pertimbangan atas rugi laba,” katanya kepada Barometerjatim.com, Kamis (23/11/2023).
Padahal masyarakat, lanjut Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan UTM tersebut, sebenarnya mendambakan tipikal pejabat publik negarawan yang menjadikan jabatan sebagai medan pengabdian.
“Tidak terlalu ngaboti dan ngandoli jabatan, sehingga lebih visioner memberi sebanyak-banyaknya untuk kebaikan publik termasuk sedekah kebijakan untuk kebaikan bersama,” tandasnya.
| Baca juga:
- Ganjar Beber Strategi Menangi Pertarungan di Pilpres 2024: Jagalah Jawa Timur!
- Makin Kuat Berhembus Jadi Ketua TKD Prabowo-Gibran di Jatim, Khofifah Masih Saja Bungkam!
- Ganjar Singgung KKN: Kalau Duit Negara Tidak Dicopet, Rakyat yang Dapat Manfaat!
Sedangkan soal legal standing yang dikoreksi hakim MK karena pemohon hanya Emil tanpa Khofifah padahal kepala daerah dan wakil kepala daerah satu paket satu SK, Surokim memandang itu bagian dari ketidakcermatan.
“Saya pikir manusiawi ya, bisa terjadi pada siapa saja, apalagi itu terkait pengajuan perkara hukum. Bisa saja terjadi pada orang yang tidak berlatar pendidikan hukum, biasa saja menurut saya,” katanya.
Ditanya analisanya soal motif yang mendorong Emil melakukan gugatan, Surokim yang juga peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC) tak mau beradai-andai. “Tapi dari perspektif politik MK itu kan bisa jadi panggung politik,” katanya.
“Hak warga negara untuk bisa mengajukan gugatan hukum ke MK guna mendapatkan keadilan hukum, boleh boleh saja, kendati bukan anak presiden. Malah itu akan membuat putusan jadi lebih objektif di MK, asal tidak sering-sering saja biar enggak ditafsirkan lain oleh publik, he.. he..“ ucap Surokim.
Perbaikan Permohonan
Hingga kini, hakim MK masih memberikan waktu untuk perbaikan permohonan yang terdaftar dengan perkara Nomor 143/PUU-XXI/2023 tersebut paling lama Selasa, 28 November 2023 pukul 09.00 WIB.
Sebelumnya, dalam sidang panel pemeriksaan pendahuluan, Rabu (15/11/2023), Majalis Sidang Panel yang dipimpin Ketua MK, Suhartoyo bersama Wakil Ketua MK, Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh memberikan sejumlah catatan bagi para pemohon dengan kuasa hukum Donal Fariz.
Saldi memberikan lima poin catatan. Salah satunya mengenai perbedaan dasar hukum dari permohonan yang berbeda dengan permohonan yang pernah diajukan ke MK. Dia juga meminta kuasa pemohon menguraikan terlebih dahulu tahapan Pilkada kapan dimulai.
"Nah ini belum ada di sini, dan kapan itu tahapan pemugutan suara. Jadi tahapan-tahapan itu kan rangkaian ya mulai dari ini dan segala macamnya sampai nanti pengambilan sumpah. Karena itu relevan dikaitkan dengan petitum yang saudara ajukan,” katanya.
| Baca juga:
- PDIP Surabaya: Warga Menangkap Indonesia Cemerlang Ada di Ganjar-Mahfud, Jangan Dicurangi!
- Alas Gelato Ekspansi ke Surabaya, Wagub Emil Dardak Dukung Geliat Bisnis Anak Muda
- 1,5 Bulan Jelang Khofifah Turun dari Takhta Gubernur, Catat! Warga Miskin Ekstrem di Jatim Masih 331.980
Berikutya Hakim Konstitusi, Daniel mencermati kedudukan hukum para pejabat yang mengajukan permohonan. Karena baik gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota, umumnya satu SK.
“Jadi kalau Pak Bima Arya dan wakil ini sebagai pemohon. Dalam pandangan saya ini semestinya dijadikan satu pemohon, karena satu SK,” ujarnya.
“Nanti dipertimbangkan. Misalnya nanti Wagub Jatim itu kan satu paket dengan gubernur, karena tidak mungkin nanti MK hanya memutuskan memperpanjang wakil tanpa gubernur,” katanya.
Sedangkan Ketua MK, Suhartoyo meminta para pemohon untuk memperhatikan lagi petitum yang diajukan karena dinilainya masih bias.
“Petitumnya tadi kan sepanjang tidak melewati pemungutan suara. Ini bisa agak bias. Artiya apakah hari ini, besok, nanti malam, atau besok pagi sebelum jam TPS dibuka? Karena kan bisa memjadi vacum of power, sekarang siapa yang mimpin di daerah itu kalau baru habis menjelang pemungutan suara,” ujarnya.{*}
| Baca berita Pemprov Jatim. Baca tulisan terukur Andriansyah | Barometer Jatim - Terukur Bicara Jawa Timur