Pakar: Soekarwo Belum Pernah Lambat Tetapkan APBD Jatim

Reporter : barometerjatim.com -
Pakar: Soekarwo Belum Pernah Lambat Tetapkan APBD Jatim

KRITISI RAPBD JATIM 2022: Madekhan Ali, kritisi RAPBD Jatim 2022 dalam diskusi Kamisan Partai Gerindra Jatim. | Foto: IST

SURABAYA, Barometerjatim.com - Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Jatim 2022 menjadi sorotan lantaran lambat ditetapkan. Dari tradisi pengesahan setiap 10 November, hingga kini RAPBD masih dalam pembahasan.

Menurut Direktur Prakarsa Jatim, Dr Madekhan Ali, merujuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 tahun 2019, APBD memang harus disahkan sebelum tahun anggaran berjalan.

Cuma yang menjadi catatan Madekhan, pertama, terlepas dari kondisi pandemi Covid-19, selama dua periode Gubernur Jatim sebelumnya, Soekarwo alias Pakde Karwo belum pernah terjadi keterlambatan pengesahan APBD.

"Sependek pengetahuan saya, Pakde Karwo belum pernah sampai harus terlambat menetapkan APBD," katanya saat menjadi narasumber dalam Diskusi Kamisan Partai Gerindra Jatim, Kamis (2/12/2021). Diskusi juga dihadiri Ketua Komisi C DPRD Jatim, Abdul Halim.

"Yang kedua, karena tugas dari provinsi itu adalah pembinaan, maka antara yang membina dan dibina ini kok sama-sama terlambat. Ini bagian dari suara di luar yang harus didengarkan juga," tandasnya.

Maka harus dilihat, lanjut Madekhan, kalau memang Pemprov yang terlambat menyerahkan Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) dan sampai terlambat pengesahan APBD-nya, maka yang kena sanksi administratif sebagaimana perundang-undangan adalah Pemprov.

Sebaliknya, kalau pembahasannya terlambat di DPRD, maka DPRD yang kena sanksi. Di luar itu, ini juga menjadi problem bagi 38 kabupaten/kota di Jatim yang menunggu kepastian berapa bantuan keuangan yang mereka terima, berapa transfer, BPHCT, dan sebagainya dari provinsi.

Selebihnya, Analis Kebijakan Publik yang juga Direktur Pascasarjana Universitas Islam Lamongan (Unisla) itu menyumbang pemikiran kritisnya terkait RAPBD Jatim 2022.

Pertama, menurut Madekhan, harus berpijak pada tematik Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). RKPD ini menjadi pedoman, pembahasan, kesepakatan umum anggaran oleh DPRD Jatim. Tidak boleh menyimpang, kalau menyimpang harus ada berita acaranya.

"Problemnya, RKPD maupun dokumen-dokumen publik Pemprov Jatim hari ini lagi-lagi saya harus mengatakan sebagai orang luar, ada kemunduran gitu lho," kata Madekhan.

"Kalau Pakde Karwo dulu, saya nge-klik gitu saja sudah bisa di-download. Kalau sekarang kok sulitnya bukan main gitu, nah ini catatan, Komisi A ini ya, transparansi publik," sambungnya.

Madekhan lantas menjelaskan, tema RKPD adalah pemulihan ekonomi dan reformasi birokrasi struktural dalam rangka meningkatkan daya saing daerah di era perdagangan berbasis agro.

"Oke, ini sudah sudah disepakati, langgamnya. Sekarang uangnya, uangnya yang secara rapid test, tes singkat yang saya lakukan, itu muncul yang namanya ada proyeksi defisit setiap tahun sejak 2020," katanya.

Selalu Proyeksi Defisit

SELALU PROYEKSI DEFISIT: Dalam tiga tahun terakhir, selalu muncul proyeksi defisit dalam APBD. | Data/Grafis: Prakarsa JatimSELALU PROYEKSI DEFISIT: Dalam tiga tahun terakhir, selalu muncul proyeksi defisit dalam APBD. | Data/Grafis: Prakarsa Jatim SELALU PROYEKSI DEFISIT: Dalam tiga tahun terakhir, selalu muncul proyeksi defisit dalam APBD. | Data/Grafis: Prakarsa Jatim

Munculnya proyeksi kekurangan anggaran setiap tahun tersebut, kata Madekhan, entah karena kebutuhan publik yang begitu besar dan tidak bisa direm setiap tahun atau kebutuhan aparatur.

Sebab politiknya, kalau mau defisitnya lebih kecil atau bisa direm, maka pilihannya adalah berhemat di pelayanan publik atau di fasilitas aparatur. Tapi karena 4 Desember RAPBD sudah didok, maka catatan kritis ini cukup jadi pelajaran agar jangan sampai terulang.

"Besarnya pendapatan dan belanja kalau lebih besar belanja maka menyababkan defisit, dan defisit itu setiap tahun sejak 2020. Tiga tahun ini, catatan kami selalu meningkat dari 1,4, 1,6, 1,8," papar Madekhan.

Masalahnya, kekurangan anggaran tersebut semakin tinggi untuk kebutuhan prioritas pembangunan akibat menurunnya penerimaan daerah atau sekadar menampung Silpa.

"Silpa itu kan sisa tahun kemarin, 2020, diproyeksi 2021 silpanya tinggi maka nanti ditampung saja di belanja, belanja sembarang, misalkan apa gitu. Tapi ya enggak sehat. Ini problemnya bukan akuntan publik yang ideal," katanya.

Defisit itu seharusnya karena kebutuhan masyarakat, pembiayaan ke pemerintahan, bukan sekadar menampung salah satu faktornya karena 'kegagalan pelaksanaan kegiatan di tahun terdahulu yang menyebabkan rendahnya serapan anggaran dan akhirnya menjadi silpa.

Di lain pihak, upaya Pemprov untuk bisa membiayai pembangunannya perlu semakin banyak mengakomodir aspirasi masyarakat, karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jatim sudah melampaui Transfer Keuangan dan Dana Desa (TKDD ) dari pusat.

"Artinya ketika serapan atau penerimaan dari PAD yang natabene itu hasil kemampuan bayar masyrakat, maka catatan saya adalah memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada Pemprov untuk semakin mengakomodir aspirasi masyarakat," jelasnya.

PAD LAMPAUI TKDD: Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemprov Jatim melampaui TKDD dari pusat. | Data/Grafis: Prakarsa JatimPAD LAMPAUI TKDD: Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemprov Jatim melampaui TKDD dari pusat. | Data/Grafis: Prakarsa Jatim PAD LAMPAUI TKDD: Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemprov Jatim melampaui TKDD dari pusat. | Data/Grafis: Prakarsa Jatim

» Baca Berita Terkait DPRD Jatim

Simak berita terukur barometerjatim.com di Google News.