Cukup 29 Menit Sadad Gembleng Mahasiswa soal Konstitusi
BICARA KONSTITUSI: Anwar Sadad usai jadi pembicara dalam seminar di UIN KH Ahmad Sidiq Jember. | Foto: Barometerjatim.com/IST
JEMBER, Barometerjatim.com - 29 menit bukanlah waktu yang panjang untuk menggembleng soal politik. Namun Wakil Ketua DPRD Jatim, Anwar Sadad bisa memanfaatkannya dengan baik, bahkan memukau mahasiswa dalam seminar tentang wacana amandemen UUD 1945 dalam perspektif akademis di Universitas Islam Negeri (UIN) KH Ahmad Sidiq Jember, Kamis (23/9/2021).
Gaya bicara Sadad yang runut dan akademisi, serta diwarnai joke-joke segar, membuat peserta seminar yang terdiri dari perwakilan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (Sema PTKIN) se-Jawa dan Nusa Tenggara itu berulang kali memberikan aplaus panjang.
"Tema amandemen ini, tema yang saya katakan berat. Tidak sembarang orang mau meluangkan waktu berbicara mengenai konstitusi dan amandemen," kata Sadad mengawali paparannya saat menjadi pembicara.
Konstitusi diperlukan, terang keluarga Pondok Pesantren (Ponpes) Sidogiri Pasuruan yang akrab disapa Gus Sadad itu, sebenarnya yang paling penting untuk mengatur dua hal saja. Pertama, bagaimana negara membatasi kekuasaan penguasa."Kedua, mengamankan, memastikan, bahwa hak-hak rakyat itu dijamin kebebasannya," jelas legislator yang juga ketua DPD Partai Gerindra Jatim tersebut.
Nah, konstitusi yang dibuat di tengah segala keterbatasan, tegasnya, tidak mungkin dibikin sesempurna yang diharapkan mengingat anak-anak muda ketika itu memaksakan supaya Bung Karno dan Bung Hatta segera memproklamirkan kemerdekaan.
"Kalau tidak ada anak-anak muda, mungkin kita belum merdeka di hari itu. Saya kira anda bisa membaca sejarah ketika Bung Karno, Bung Hatta, tokoh-tokoh pemimpin kita diculik ke Rengasdengklok oleh pemuda Sukarni," katanya.
"Untuk Apa? Memaksakan agar hari ini juga diproklamirkan Indonesia, di tengah-tengah suasana konstitusi juga belum dibuat dengan sempurna," katanya.Karena itu dalam rentang perjalanan waktu ada pikiran-pikiran bahwa konstitusi ini karena dibuat tergesa-gesa, keterbatasan waktu, keterbatasan referensi, serta pemahaman mengenai globalisme dunia internasional, maka mesti disesuaikan.
Sampai belakangan ini ramai diperbincangkan tentang perlunya kembali amandemen UUD 1945 yang bahkan menimbulkan pro dan kontra. Namun Sadad menegaskan, pro kontra soal perubahan konstitusi sudah terjadi sejak republik ini baru berdiri.
Pernah 4 Kali Berubah
Bagi yang pro amandemen, menurut Sadad, didasari pada dinamika dan perkembangan hubungan politik dan sosial yang terus berubah, sebagai suatu keniscayaan sejarah.
Terutama dalam hal untuk membatasi kekuasaan agar tidak sewenang-wenang di satu sisi, dan menjamin kedaulatan dan hak-hak warga di sisi lain.
Namun pikiran yang menolak amandemen juga dapat dipahami sebagai kekhawatiran terbelahnya bangsa ini, yang telah dengan susah payah dipersatukan oleh para pendiri bangsa.
"Faktanya selalu ada dialektika antara kekuatan yang mengusung spirit of nationalism dan mereka yang mengusung spirit of constitutionalism," katanya.
Hanya saja, Sadad mengingatkan, konstitusi bukanlah harga mati, tapi bisa berubah seiring perjalanan zaman dan dalam kesejarahan bangsa ini pernah empat kali mengubah UUD 1945.Yakni ketika baru merdeka, saat menjadi negara federal atau Republik Indonesia Serikat (RIS), pemberlakuan UUD Sementara, serta Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali ke UUD 1945.
"Jadi kita pernah mengalami masa dimana kita mengubah-ubah konstitusi dan kita tetap menjadi bangsa yang besar, bersatu, tidak tercerai berai," tuntasnya.
» Baca Berita Terkait Gerindra