Gus Ipul Boleh Menjabat, Giliran Khofifah Diminta Mundur

-
Gus Ipul Boleh Menjabat, Giliran Khofifah Diminta Mundur
'AKROBAT POLITIK': Fahrur Rozi hanya minta Mensos Khofifah Indar Parawansa yang mundur dari jabatannya saat ini sementara jabatan Wagub Saifullah yang didukungnya tak dipermasalahkan. | Foto: Ist SURABAYA, Barometerjatim.com Kelompok masyarakat yang menamakan diri Forum Komunikasi Kiai Kampung Jawa Timur (FK3JT) kembali melakukan 'akrobat politik'. Keberpihakannya kepada Saifullah Yusuf (Gus Ipul) membuat siapa saja pejabat publik yang berniat maju di Pilgub Jatim 2018, selain Gus Ipul, diimbau segera mundur. Bisa ditebak, sasaran 'tembak' kiai kampung diarahkan ke Khofifah Indar Parawansa -- calon rival terberat Gus Ipul -- meski belum declare maju di Pilgub Jatim 2018 dan belum ada satupun Parpol yang memberikan rekomendasi secara terbuka. Forum yang dimotori Gus Fahrur Rozi ini tak hanya meminta Khofifah mundur dari jabatannya sebagai Menteri Sosial (Mensos) tapi juga Ketua Umum PP Muslimat NU. Karena Mensos itu tugasnya memang berkunjung kesana kemari, menyampaikan bantuan, terutama ke Jatim, dalihnya kepada wartawan, Senin (23/10). Baca: Akrobat Politik Kiai Kampung: Balik Arah Dukung Gus Ipul Tendensiusnya lagi, imbauan itu hanya berlaku untuk Khofifah tapi tidak Saifullah. Padahal, selain menjabat Wakil Gubernur Jatim, Saifullah juga salah seorang ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Sekali lagi, dalih Fahrur, "Gus Ipul, beliau wakil gubernur. Menurut saya tupoksinya tidak dipasrahi anggaran kemanusiaan langsung seperti Bu Khofifah." "Beliau saya kira hanya sebagai seorang wakil gubernur yang tugasnya membantu gubernur. Itupun apabila diminta, sehingga Gus Ipul menurut kiai kampung soal mundurnya bukan urgent, Bu Khofifah itu yang urgent, tambahnya. Tak hanya meminta Saifullah bertahan di jabatannya dan mewajibkan Khofifah mundur, Fahrur juga menegaskan kalau kelompoknya mendukung pasangan Saifullah-Abdullah Azwar Anas yang akan diusung koalisi PKB-PDIP. Aturan Membolehkan Permintaan sepihak Fahrur itu cukup menggelitik, karena mencampuradukkan antara aturan dan keberpihakan kepada Saifullah-Anas. "Ada-ada saja. Kalau Bu Khofifah dipermasalahkan, kenapa Gus Ipul tidak. Apa itu adil?" kata Ketua PW Muslimat NU Jatim, Nyai Hj Masruroh Wahid. Selebihnya, Masruroh menjelaskan, di AD/ART Muslimat NU tidak ada aturan bahwa ketua umum harus mundur jika maju di Pilkada. "Enggak ada itu aturannya harus mundur. Yang tidak boleh kalau merangkap jabatan di organisasi lain yang selevel," tandasnya. Muslimat NU, tambahnya, adalah badan Otonom (Banom) yang memiliki AD/ART sendiri. Karena itu dia minta siapapun tidak perlu mencari-cari masalah dengan menyuruh satu kandidat mundur dari jabatannya saat ini, sementara yang lain tidak. Baca: Ternyata, Robiatul Adawiyah Istri Ketua Forum Kiai Kampung "Itu namanya mengada-ada karena memang tidak ada (aturan yang meminta mundur). Enggak baik. Kalau mengada-ada itu ada kekhawatiran apa? Jadi Fair-fair saja-lah, biasa-biasa saja-lah," katanya. Begitu pula dengan jabatan Khofifah sebagai Mensos. Menurut CEO Lembaga The Initiative Institute, Airlangga Pribadi Kusuma, kalau sesuai undang-undang tidak ada aturan harus mundur. Cukup non-aktif. Hanya secara etika, sebaiknya tidak menggunakan fasilitas atau pengaruh otoritas negara. Jadi sebaiknya mereka (Saifullah, Khofifah maupun Azwar Anas) mundur, imbaunya menekankan secara etika tak hanya Khofifah yang mundur. Sebelumnya, Ketua Lembaga Peneliti Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif) Veri Junaidi mengatakan, seorang menteri tidak harus mundur dari jabatannya ketika ikut dalam Pilkada. Tidak ada aturannya dalam UU Pilkada, tegasnya. Baca: Diajak Doakan Gus Ipul, Warga Muslimat NU Doakan Khofifah Hal itu merujuk Pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang menyebut calon yang harus mundur dari jabatannya ketika ikut Pilkada yakni anggota DPR, DPD, DPRD, TNI, Polri dan PNS. Sementara menteri meminta izin kepada presiden selaku atasannya. Aturan menteri tidak harus mundur juga tertuang dalam PKPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Kepala Daerah. Menteri itu pembantu presiden. Kalau maju sebagai kepala daerah ya izinnya harus ke presiden, katanya. Dengan demikian secara aturan boleh, problemnya hanya soal etika. Lebih etis memang jika yang bersangkutan (menteri) mengundurkan diri ketika sudah ditetapkan sebagai pasangan calon, kata mantan Komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay.
Simak berita terukur barometerjatim.com di Google News.