Kisruh PPDB, Arum Sabil: Khofifah Korban Kebijakan Mendikbud

KORBAN KEBIJAKAN MENDIKBUD: Arum Sabil dan Khofifah di City Forest and Farm Jember. | Foto: Barometerjatim.com/DOK
SURABAYA, Barometerjatim.com Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa tak kuasa membendung zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMP-SMA/SMK seperti tuntutan wali murid saat menggelar aksi di depan Gedung Grahadi, Surabaya, Rabu (19/6/2019).
Maklum, kebijakan tersebut bukanlah gubernur yang menerbitkan, melainkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy lewat payung hukum Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018.
Sebenarnya, ikhtiar Khofifah dalam memperjuangkan warganya sudah dilakukan, termasuk melakukan penghentian sementara proses zonasi PPDB sebelum akhirnya dibuka kembali karena Permendikbud tidak bisa diutak-atik dan berlaku nasional.
Di luar itu, Khofifah juga mengeluarkan kebijakan khusus, yakni kuota 20 persen -- dari 50 persen kuota sistem zonasi -- diberikan untuk anak-anak yang nilai Ujian Nasional (UN)-nya bagus di setiap sekolah yang masih satu zona.Tak berhenti di situ, Pemprov Jatim pun memberikan kuota khusus 20 persen untuk warga miskin, di antaranya mengakomodasi khusus untuk anak buruh sebesar 5 persen dengan tetap menjadikan Permendikbud sebagai referensi.
Bahkan, di luar zonasi, Pemprov masih memberikan kuota 10 persen. Masing-masing 5 persen bagi mereka yang mendaftar melalui jalur prestasi maupun yang orang tuanya pindah tugas.
Melihat kenyataan tersebut, Owner Pelita Hati School Jember, Arum Sabil menegaskan Khofifah menjadi korban dari kebijakan Mendikbud. "Ya, hari ini gubernur Jatim telah menjadi korban dari kebijakan Mendikbud," tandasnya pada Barometerjatim.com di Surabaya, Jumat (21/6/2019).Apalagi yang berkembang di sebagian besar masyarakat, lanjut Arum Sabil, kebijakan yang dinilainya sangat menyakitkan di dunia pendidikan itu seolah-olah berasal dari gubernur.
"Kebijakan ini harus dihentikan! Jangan jadikan dunia pendidikan kelinci percobaan, harus dihentikan mulai sekarang," pinta pria yang juga Ketum MPA Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (Gapperindo) tersebut.
Arum Sabil menambahkan, kebijakan zona ini sungguh tidak bijak, tergesa-gesa, tidak melalui kajian yang komprehensif. "Sehingga seolah-olah dunia pendidikan hanya dijadikan kelinci percobaan. Ini tidak bagus," tandasnya.Dia mencontohkan rumahnya yang hanya berjarak sekitar satu kilometer dengan SMAN 15. Namun anaknya belum tentu bisa masuk ke sekolah tersebut, karena namanya tak ada dalam jumlah urutan kuota yang ditentukan.
"Selain itu, sistem ini tidak memunculkan semangat kompetisi. Bukan kita ingin mengelompokkan, memisahkan, membeda-bedakan anak yang pintar dengan yang memiliki segala keterbatasan, bukan!" ucapnya.
"Tapi kita perlu memberikan spirit, semangat pada anak-anak, agar mereka bisa memiliki semangat berkompetisi yang positif. Semangat kompetisi itu memicu untuk belajar, sehingga dari awal sudah diberikan pembelajaran reward dan punishment," sambungnya.Karena itu, menurut Arum Sabil, sekolah unggulan dan sebagainya masih sangat diperlukan, mengingat hal itu bagian dari reward anak-anak yang telah belajar dengan baik.
"Tapi kalau sekarang ini, bisa saja karena kuota walaupun zonanya dekat, anak itu tidak sekolah di tempat tersebut. Atau bisa saja biar dekat dengan tujuan sekolah, malah mereka terlempar jauh dari tempat tinggalnya. Ini juga akan bermasalah," paparnya.Bagaimana dengan tuntutan wali murid agar Presiden Jokowi mengganti Mendikbud Muhadjir Effendy?
"Kalau sekarang diganti juga percuma, waktunya sudah mepet. Bukan itu esensinya, itu ranah presiden. Yang kita minta sederhana saja: Hentikan atau ubah kebijakan (zonasi PPDB) itu," pungkasnya.
» Baca Berita Terkait Khofifah, Kisruh PPDB