Ketua Umum PDNU: Banyak Kiai Tak Beriman pada Covid-19

PANSER NU: Dokter Niam, Panser NU dibentuk untuk selamatkan kiai dan pesantren dari Covid-19. | Foto: Barometerjatim.com/IST
SURABAYA, Barometerjatim.com - Pasukan Serbaguna Nahdlatul Ulama (Panser NU) mendadak menjadi perhatian, setelah membeber 541 -- bahkan terus bertambah -- ulama wafat selama pandemi Covid-19, dari Februari 2020 hingga 30 Juni 2021.
Bagaimana Panser NU terbentuk? Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Nahdlatul Ulama (PP PDNU), Dokter Muhammad S Niam menuturkan, sejak awal pandemi komunitas ini terbentuk setelah melihat beberapa kiai dan pengasuh pondok pesantren berguguran ketika ada pesantren terpapar.
"Kita kemudian membuat grup Panser NU yang terdiri dari para pengurus RMI (Rabithah Ma'ahid al Islamiyah) PBNU, Gerakan Ayo Mondok, Jaringan Gusdurian, Satkor (Saruan Koordinasi) Covid-19 RMI, dan PDNU," katanya kepada Barometerjatim.com, Senin (5/7/2021).
Tujuan utama gerakan, lanjut Niam, yakni melindungi para kiai dan pesantren yang memang merupakan masyarakat komunal dengan kebiasaan yang justru harus ditinggalkan dalam situasi pandemi. Seperti berkumpul, berjamaah, bersalaman, berangkulan, makan bersama satu talam, serta tidur berjubel banyak orang dalam kamar pondokan."Di samping itu kita menyadari, banyak kiai-kiai dan pengasuh pesantren yang tidak 'beriman' pada Covid-19, loss doll, tidak melaksanakan prokes (protokol kesehatan). Bahkan banyak yang baru beriman setelah terpapar, positif, dan dirawat di ruang intensif," ujarnya.
Namun setelah sembuh, tandas Niam, tidak prokes lagi, bahkan beberapa kiai malah mengadakan hajatan mantu besar-besaran yang walaupun pengumumannya di undangan disebut dengan prokes, faktanya sebagaimana bisa diduga sangat sulit menjaga jarak, tidak bersalaman, dan membuka masker saat makan dan foto-foto.
"Loss doll semua. Kita yang di Panser NU tidak kurang-kurang menggalakkan kesadaran tentang Covid-19, memberi penjelasan dan melatih satgas pesantren melalui zoominar, memberi kesempatan konsultasi mereka dengan para dokter PDNU melalui aplikasi salam.doc, hingga memberi pendampingan pesantren yang terpapar," terangnya.Tapi, lanjut Niam, tetap saja tidak banyak berdampak karena pengasuhnya tidak sepenuh hati bahkan cenderung menutup-nutupi bila ada pesantren yang terpapar sehingga menyulitkan tracing, tracking, dan treating.
"Penyebaran virus menjadi terselubung karena tidak boleh diungkap. Sehingga setelah kondisi memburuk, baru kalang kabut mencari pertolongan diam-diam dan santri-santri terpapar tidak bisa diobati dengan baik," katanya.
Terima Informasi Hoaks
Keadaan seperti itu, kata Penanggung Jawab Pusat Pelatihan Bedah Endoskopi dan Laparoskopi FKUB/RSSA (Rumah Sakit dr Saiful Anwar) Malang tersebut, berlangsung terus bahkan hingga saat ini.
"Banyak pula di antara mereka yang malah memarahi santri-santri yang ikut menjaga prokes. Beliau-beliau akhirnya lebih mudah menerima informasi-informasi hoaks yang tersebar di medsos, tanpa ada yang bersedia menerima klarifikasi dari kita," katanya.
Bayangkan, ucap Niam, dari ribuan kiai dan ulama yang tersebar di Indonesia, hanya segelintir yang bisa memahami pandemi dengan baik dan bersedia mendukung upaya prokes.
"Saya hanya bisa menyebut beberapa nama, selain Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) yang tetap konsisten melakukan dan mengkampanyekan prokes demi menjaga kesehatan kiai, ulama, pengasuh, dan para santri," ujarnya.Sementara yang lain, ungkap anggota Endoscopic and Laparoscopic Surgeons of Asia (ELSA) itu, masih jauh lebih banyak yang berkutat dengan keraguan tentang pandemi, kegamangan tentang prokes, dan abai tentang pentingnya mencegah penularan dan penyebaran wabah.
» Baca Berita Terkait Wabah Corona