Anwar Sadad: Sudah Ada UU Pesantren, Santri Jangan Lagi Inferiority Complex

UU PESANTREN: Anwar Sadad, pembicara dalam diskusi UU Pesantren yang dihelat BEM Insud Lamongan. | Foto: Barometerjatim.com/IST LAMONGAN, Barometerjatim.com Makin sering saja Wakil Ketua DPRD Jatim, Anwar Sadad menyapa serta menghadiri diskusi dengan mahasiswa dan mahasantri. Setelah pekan lalu bertemu dan berdiskusi dengan mahasiswa di Bangkalan, Sabtu (29/1/2022) sore legislator yang juga ketua DPD Partai Gerindar Jatim itu berada di tengah-tengah mahasiswa di Lamongan. Sadad hadir sebagai pembicara dalam diskusi bertajuk transformasi Undang-Undang (UU) Pesantren bagi mahasantri dan pesantren yang dihelat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Institut Pesantren Sunan Drajat (Insud), Lamongan. Dalam gemblengannya, Sadad menuturkan UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren memang menuai kontroversi. Namun hal itu wajar saja, karena di dunia ini semua hal pasti memicu pro dan kontra, mengandung sisi baik dan buruk. Hanya saja, tugas kita adalah fokus pada sisi baik. Oleh karena itu, di dalam memandang UU Nomor 18/2019 kita mesti ambil satu sisi positif, bahwa itu adalah pengakuan terhadap pendidikan di lembaga pesantren yang sekarang diakui dan setara dengan lembaga pendidikan di tempat lain. Hal yang harus kita syukuri, ucapnya. Jadi enggak ada lagi alasan lagi para santri itu mengalami yang namanya inferiority complex, merasa minder, tandas politikus keluarga Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan yang akrab disapa Gus Sadad itu. Sadad lantas memaparkan, setidaknya ada tiga poin dalam UU Pesantren yang bisa dijadikan sebagai telaah bahwa itu adalah hal yang penting. Pertama, soal kesetaraan. Kedua, soal apa yang sehari-hari dilakukan di pesantren mendapatkan justifikasi sebagai lembaga pendidikan yang diakui negara. Menurut Sadad, ini menjadi penting karena kalau dianalisa secara kajian historis, sosiologis, maupun antropologis, pesantren terpinggirkan dari kehidupan modern karena memang ada operasi besar-besaran yang dilakukan penjajah Belanda di masa lalu. Penjajah sengaja mengintroduksi, memperkenalkan, bahwa dunia ini bukan tempat yang nyaman bagi orang-orang yang beriman. Peradaban modern di kota diinteroduksi hanya milik nonsantri, sehingga para kiai memilih minggir ke hutan. Inilah yang kemudian ditunjukkan sejarah, bahwa sebenarnya kaum santri telah memiliki kontribusi yang besar di dalam perjuangan kebangsaan kita, kata Sadad. Dan itu semakin kuat dengan lahirnya UU Nomor 18/2019, yang meneguhkan eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan yang diakui oleh negara, sambungnya. Tapi yang paling penting, ketiga, tandas Sadad, yakni karakteristik pesantren harus dipertahankan. Sebab, dalam UU Nomor 18/2019 yang dimaksud dengan pesantren adalah lembaga pendidikan yang ada kiainya, ada santri yang mukim alias santri berasrama (boarding school), dan ada pendidikan kitab kuning atau kegiatan pengajian. Ini sebenarnya bukan hal baru kok, di mana-mana pesantren ya seperti itu. Tetapi bahwa itu tertuang dalam pasal per pasal UU adalah peneguhan sekaligus pengakuan legal. Jadi mulai sekarang kita deklarasikan, bahwa saya bangga menjadi santri," katanya. Karena itu, tandas Sadad, para santri terutama mahasantri, harus orang-orang yang betul-betul bisa kompeten di dalam pengetahuan agamanya. » Baca berita terkait Anwar Sadad. Baca juga tulisan terukur lainnya Roy Hasibuan.