Catatan Gus Hans dari Frankfurt Jerman: Berjihad Dalam Senyap
PAGI INI suhu sangat turun drastis hingga minus 1 derajat celcius. Padahal semalam masih 'sedikit hangat', 5 derajat celcius. Penghangat ruangan seakan tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik, suara adzan dari HP membangunkan saya untuk segera mengambil air wudhu dengan air hangat di kamar mandi
Saya membayangkan bagaimanakah rasanya mereka para penduduk atau pendatang muslim setiap hari harus bangun subuh dalam keadaaan mbediding seperti ini, terlebih dengan biaya hidup yang mahal belum tentu mereka memiliki fasilitas air panas untuk berwudhu. Bahkan saya berpikir mereka mau shalat saja sudah alhamdulillah.
Jangan bayangkan kehidupan keberagamaan di Eropa seperti di Tanah Jawa. Dengan suhu yang relatif stabil, dengan suara adzan yang berkumandang saling bersahutan plus jika di perdesaan dilanjutkan dengan puji-pujian, mulai dari Alamate Anak Sholeh sampai syi’ir Abu Nawas, komplet bahkan sepuluh kali putaran sebelum iqomah terdengar keras dari toa masjid dan langgar terdekat.
Di Frankfurt atau di wilayah belahan Eropa barat lainnya, jangan berharap mendengarkan Alamate Anak Sholeh. Adzan saja hampir mustahil terdengar, yang terdengar hanyalah alunan lonceng dari gereja-gereja yang sudah mulai sepi ditinggalkan jemaatnya.
Penulis sama sekali tidak bermaksud menyamakan suara adzan dengan suara lonceng gereja, namun secara awam keduanya adalah panggilan sakral bagi umat yang mengimaninya.
Bagi saya suara adzan adalah tak tertandingi dengan seruan atau panggilan apapun. Bahkan saya pun hampir pasti menghentikan berbicara jika berkesempatan mengisi dalam suatu forum, demi menghormati kemuliaan suara adzan.
Yang terkadang menjadi bingung adalah ketika jarak antara mushala dan masjid-masjid saling berdekatan, maka kumandang adzan pun bergantian hingga bisa 20 menit belum juga usai.
Akhirnya dengan sangat berat hati saya mengikuti ijtihad para ulama untuk hanya mengikuti suara adzan yang pertama atau yang berijtihad suara adzan yang paling dekat dengan lokasi kita, dan artinya saya pun 'dengan sengaja menisbikan' panggilan yang sangat mulia ini dan meneruskan berbicara (semoga Allah mengampuni).
Agama adalah Solusi
Setelah saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bagaimana semangat atau ghirroh para kaum muslim di Frankfurt berbondong-bondong datang ke satu-satunya masjid Indonesia di Frankfurt selatan tanpa menunggu dan mendengar adzan, mereka datang tepat waktu untuk menjalankan ibadah shalat Jumat dari penjuru Kota Frankfurt.
Di sisi lain dentuman lonceng gereja yang setiap hari menggema, ternyata tidak berdampak pada menurunnya masyarkat Jerman untuk ke Gereja. Mereka jutru lebih banyak memilih tidak beragama atau bahkan atheis.
Saya melihat upaya mereka untuk mempertahankan eksistensinya cukup serius. Di tempat-tempat strategis, bnyak yang membagikan majalah dan selebaran tentang Bible dalam berbagai bahasa.
Lalu penulis berpikir, apa korelasinya antara suara panggilan sakral dengan tingkatan keimanan seseorang?
Tentu sebagai umat beragama saya meyakini bahwa agama adalah solusi bagi mereka yang meyakini, karena di dalamnya berisi petunjuk arah menuju kabaikan.
Saya khawatir fenomena sepinya tempat beribadah di Eropa bisa saja merembet ke Asia Tenggara atau bahkan di Indonesia (naudubillah mindzalik), ketika agama hanya dijadikan sekadar simbol dan gegap gempita yang hampa tanpa makna.
Ketika kita tak lagi menganggap suara adzan adalah panggilan Allah yang harus kita dengarkan dengan khusuk dan ketika lantunan tadarusan al-Qur’an tak lagi sakral apalagi membuat hati bergetar, karena kita mendengarkannya dengan sambil lalu di sela-sela aktivitas dan hiruk pikuk keduniawian?
Terkadang hati ini rasanya ingin berteriak: Mana yang katanya kita memuliakan al-Quran? Sementara kita hanya mendengarkan sekadarnya saja. Terlebih jika ada yang melantunkan dengan tidak fasih dan suara yang fals, belum lagi bagaimana perasan saudara-saudara kita yang tidak mengimani bahwa al-Quran adalah Kalam Ilahi yang dilantukan dengan suara fals?
Keimanan Prerogatif Tuhan
Memang betul Nabi Muhammad Saw yang mengajarkan kita untuk bisa bermuamalah dan berinteraksi dengan sesama manusia dengan penuh salam, dan saling menghormati, bahkan prinsip “lakum dinukum waliyadin” sudah tertanam dalam diri kita bahwa kita tidak mau mencampuri dan mengurusi keyakinan orang lain, karena keimanan itu adalah prerogratif Allah Swt. Lantas kenapa kita 'memaksakan' orang lain untuk mendengar dari apa yang ia tak mau dengar?
Saya mendambakan jika ada aturan yang mengatur kapan dan siapa siapa saja yang berhak mengumandangkan ayat suci al-Qur’an di ruang publik harus memenuhi kualifikasi tertentu agar al-Qur'an benar-benar terjaga kemuliaan, kesakralan, keagungannya, serta bisa menjadi media diplomasi dan show case tentang Islam d imata para orang yang haus dengan religiusitas dan mampu menggetarkan jiwa-jiwa umar Islam yang mendengarkannya.
Sikap tawasuth dalam beragama harus betul-betul dapat diaplikasikan dalam lelaku sehari-hari dengan berpikir dan bertindak moderat dalam beragama, jika tidak mau dicubit ya jangan mencubit dan jika ingin dihargai ya harus menghargai.
Sejenak berislam di Frankfurt mengajarkan kepada saya bahwa beragama itu adalah ranah personal antara mahluk dan Khaliknya, seperti halnya orang dimabuk cinta sedang memadu kasih yang tak perlu aba-aba apalagi gegap gempita.
Untuk para sahabat muslim yang berada di Eropa tetap semangat dalam berjihad dalam senyap, langkah tangguhmu terbukti dan teruji tak beku dalam dinginnya salju dan tak pudar dalam panasnya sengatan sang surya.
Dari pinggir sungai Main di Frankfurt saya mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa untuk seluruh sahabatku di Indonesia. Mari muliakan al-Qur’an dengan mengkaji makna dan hikmahnya dan mensyiarkannya dengan penuh kekhusyukan dan menempatkan al-Qur’an di ruang-ruang yang mulia.{*}
* KH Zahrul Azhar Asumta SIP, M.Kes (Gus Hans) adalah Wakil Rektor Unipdu Jombang, Wakil Rektor Unipdu Jombang, Ketua GNAN MUI Jatim, Presidium Nahdaya Indonesia
Disclaimer: Tulisan opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian dari tanggung jawab redaksi Barometerjatim.com. Rubrik Opini terbuka untuk umum. Naskah dikirim ke [email protected]. Redaksi berhak menyunting tulisan tanpa mengubah substansinya.
| Baca berita terkait Gus Hans. Baca OPINI terukur | Barometer Jatim - Terukur Bicara Jawa Timur