Dipenjara, Investor Pasar Turi Dinilai Korban Kriminalisasi

KRIMINALISASI: Ahmad Riyadh UB (kanan) sebut penahanan kliennya atas dugaan penggelapan jual beli tanah sebagai bentuk kriminalisasi. | Barometerjatim.com/ABDILLAH HR
SURABAYA, Barometerjatim.com Kasus dugaan penipuan dan penggelapan jual beli tanah senilai Rp 4,5 miliar menyeret Direktur PT Gala Bumi Perkasa (GBP), Henry Jocosity Gunawan ke Rutan Klas I Surabaya.
Para kuasa hukum Hendry, Ahmad Riyadh UB dan Lilik Jaliah menilai, penahanan investor Paras Turi oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya tersebut tidak sesuai, karena kliennya disebut tidak tahu menahu soal riwayat jual beli tanah seluas 1934 M3 di Claket Malang.
Bahkan, Lilik berpendapat, penahanan serta status tersangka dalam kasus dugaan penipuan dan penggelapan yang dijeratkan terhadap kliennya, dituding sebagai upaya kriminalisasi. "Klien kami diduga keras telah dikriminalisasi," ujarnya, Selasa (15/8).
Baca: Tak Terima Dijadikan Tersangka, Sunah Ajukan Praperadilan
Para kuasa hukum tersangka lantas menceritakan kronologis menurut versi mereka. Kasus ini berawal dari jual beli lahan yang terjadi pada 2006 antara PT GBP saat direkturnya dijabat Raja Sirait kepada Anggraeni, ahli waris dari Sutanto. Tanah dibeli seharga Rp 6 miliar.
Lalu, status tanah mengalami pengalihan kuasa ke pihak Hermanto dengan nilai sebesar Rp 4,5 miliar. "Namun hingga saat ini, tidak pernah ada pembayaran sama sekali. Apakah bisa Hermanto menunjukkan bukti pembayaran berupa kwitansi atau yang lainnya, kita yakin tidak bakal bisa," ujar Riyadh.
[ctt template="5" link="jet85" via="no" ]"Namun hingga saat ini, tidak pernah ada pembayaran sama sekali. Apakah bisa Hermanto menunjukkan bukti pembayaran berupa kwitansi atau yang lainnya, kita yakin tidak bakal bisa," ujar Riyadh[/ctt]
Pada 2010, tambah Riyadh, sertifikat tanah tersebut mengalami balik nama dari ahli waris berubah menjadi PT GBP. Balik nama terjadi saat direktur dijabat Tee Teguh Kinarto.
Tiga tahun kemudian, 2013, saat kepemimpinan PT GBP beralih ke Hendry, keberadaan sertifikat yang sudah atas nama PT GBP itu masih berada di brankas milik PT GBP.
Baca: Prestasi Kejaksaan di Jatim: 2 Hari Tangkap 9 Koruptor
Kemudian pada 2016, tanah bersertifikat atas nama PT GBP dijual oleh Hendry ke pihak lain seharga Rp 10 miliar. Jual beli terjadi karena Hendry mengira bahwa lahan tersebut merupakan aset milik PT GBP.
Mengingat, nama maupun keberadaannya dalam kekuasaan PT GBP dan saat serah terima jabatan direktur sebelumnya, tidak pernah ada informasi dari para direksi lain soal status tanah dan sertifikat.
Setelah tanah dan bangunan terjual, baru hal ini disoal oleh Notaris Caroline dan dilaporkan ke Polrestabes Surabaya. Namun kuasa hukum Hendry menilai Notaris Caroline tidak memiliki legal standing sebagai pelapor.
"Sederhana saja, apabila benar soal adanya proses pengalihan kuasa yang dilakukan didepan Notaris Caroline, mengapa sertifikat tersebut berada dalam kekuasaan PT GBP selama bertahun-tahun," ujar Riyadh.
"Lalu bagaiamana bisa seorang notaris memberikan sertifikat kepada pihak yang dianggap tidak bukan sebagai pemiliknya."
Baca: Tetap Beroperasi, Direksi Empire Palace Disomasi
Karena itu, tandas Riyadh, tidak salah apabila Hendry mengira bahwa tanah tersebut aset milik PT GBP, terlebih sertifikat juga atas nama PT GBP.
"Kapasitas notaris Caroline sebagai pelapor kita pertanyakan legal standing-nya. Kerugian apa yang diderita oleh pelapor dalam hal ini?," ujar Riyadh.
Selain bergulir di Surabaya, kasus ini juga dilaporkan Hermanto ke Mabes Polri. Atas laporan tersebut, Hendry juga ditetapkan sebagai tersangka. Hermanto melapor ke polisi mengatasnamakan sebagai pemilik lahan dan sertifikat.
"Padahal tidak pernah ada uang yang dibayarkan Hermanto kepada PT GBP terkait lahan tersebut. Tidak pernah ada bukti pembayaran. Apakah bisa hal itu disebut sebagai pemilik, sehingga status Hermanto selaku pelapor juga kita pertanyakan legal standingnya," papar Riyadh.