Dua Julukan Keramat Kiai Wahab dari Mbah Hasyim
Banyak kiprah hebat kiai NU dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia tak tertulis di tinta sejarah. Satu di antaranya KH Abdul Wahab Chasbullah. Padahal KH Hasyim Asyari memberinya dua julukan keramat.
DI KALANGAN nasionalis, Bung Karno dikenal sebagai orator ulung. Pidatonya mampu membakar, menggelorakan revolusi, untuk mengusir penjajah hingga Indonesia meraih kemerdekaan sekaligus mempertahankan martabat Merah Putih setelahnya.
Tentu, Bung Karno tidak sendiri dalam mewujudkan kemerdekaan. Sebab, para kiai Nahdlatul Ulama (NU) juga menggelorakan dan melakukan perjuangan yang sama. Bedanya, tinta sejarah tidak terlalu panjang menulis kiprah besar para kiai NU.
Padahal, Bung Karno tidak suka kalau sampai anak bangsa ini melupakan atau bahkan meninggalkan sejarah, seperti yang diucapkan dalam pidatonya saat HUT RI, 17 Agustus 1966: Jasmerah (Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah).
Lalu apa kiprah besar para kiai NU dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia? Tak terbilang! Salah satunya, "Sebelum 1926, penjajah masih senyum-senyum saja. Tapi ketika NU berdiri pada 1926, di situlah para penjajah benar-benar gentar. Begitu yang disampaikan abah saya, tutur Pengasuh Ponpes Amanatul Ummah Pacet dan Surabaya, Jatim, Dr KH Asep Saifuddin Chalim MA.
Penuturan Kiai Asep itu disampaikan saat Soft Launching Mars Asli "Hubbul Wathon" karya KH Abdul Wahab Chasbullah di Halaman Gedung Astra Nawa, Surabaya, pekan lalu. Kiai Asep adalah putra KH Abdul Chalim Leuwimunding, muassis NU Surabaya yang juga sekretaris pribadi Kiai Wahab.
Satu di antara kiai yang begitu menggelora ingin Indonesia merdeka, lanjut Kiai Asep, yakni Kiai Wahab. Bahkan, sejak belajar di Makkah, 1913, dia sudah berpikir keras membuat institusi untuk mendukung upaya kemerdekaan.
"Para kiai NU berkeyakinan, merdeka bisa terwujud ketika ada institusi kiai-kiai pesantren dan kemudian mereka membentuk kekuatan. Bahkan sejak dari Makkah beliau (Kiai Wahab) berpikir tentang itu," kata Kiai Asep.
"Kiai Wahab dan abah saya berteman, walaupun usia abah saya jauh lebih muda. Dari sejak 1913 berada di Makkah dan pulang bersama-sama pada 1914. Memang cita-citanya ingin mendirikan institusi ulama-ulama pesantren dan kemudian mewujudkan Indonesia merdeka."
Maka, setahun kemudian, sepulang Kiai Wahab dan Kiai Chalim Leuwimunding dari Makkah, lahirlah Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathon serta institusi kebangsaan lainnya. Rupanya, gerakan dan perjuangan Kiai Wahab ini dipantau terus oleh Hadratussyeikh KH Hasyim Asyari (Mbah Hasyim) maupun KH Kholil Bangkalan (Mbah Cholil).
"Sampai Kiai Hasyim pernah berucap pada abah saya: Mas Dul Chalim, bertahun-tahun saya perhatikan Kiai Wahab 'ditendang' (berjuang sendiri) ke sana kemari, saya ingin membantu. Tapi darimana saya memulai," kenang Kiai Asep menirukan perkataan abahnya.
Lantaran dinilai luar biasa, Mbah Hasyim sampai memberi dua julukan "keramat" sekaligus untuk Kiai Wahab: Badrul Ikhtifal yang berarti singa podium atau bintang dalam setiap pertemuan, serta Kharokatul Afkar alias motivator ulung.
"Ketika para pemuda sudah mendapat motivasi dari Kiai Wahab, sepertinya lekat dan tak mau berpisah dengannya," ucap Kiai Asep.
Karena itu, ketika murid-murid Kiai Wahab di Nahdlatul Wathon, sekitar 65 orang yang diketuai Kiai Chalim Leuwimunding, saat diminta menyebarkan undangan untuk sebuah pertemuan hampir semua kiai besar hadir.
Mulai Mbah Hasyim, Kiai Dereh Muntahah (utusan Mbah Kholil), Kiai Masnawi Sidogiri, Kiai Zubair (Abah Kiai Maimun Zubair), Kiai Ridwan Semarang, Kiai Ridwan Surabaya dan masih banyak lagi. "Mereka tumplek blek (hadir semua) dan mereka inilah yang disebut fukhulul ulama, para pemuka ulama," katanya.{*}