Kisah Tukang Becak Naik Haji Buah 21 Tahun Menabung

MENUJU TANAH SUCI: Maksum, buah kerja keras lewat menarik becak dan rajin menabung selama 21 tahun, tahun ini dia siap terbang ke Tanah Suci menunaikan ibadah haji. | Foto: Barometerjatim.com/ENEF MADURY
Dari hasil menarik becak dan menabung selama 21 tahun, Maksum bin Wahab siap berangkat ke Tanah Suci: Menunaikan ibadah haji.
HAJI itu 'panggilan' sekaligus buah ikhtiar. Simak perjuangan Maksum bin Wahab. Demi menunaikan rukun Islam kelima, kakek 79 tahun itu bahkan harus menabung selama 21 tahun, menyisihkan sebagian penghasilannya dari menarik becak. Hasilnya, subhanallah: Tahun ini masuk daftar terbang ke Tanah Suci.Maksum yang tinggal di Kapasan Samping, Kelurahan Kapasan, Simokerto, Surabaya, tergabung dalam kelompok terbang (kloter) enam. Sebagai ungkapan syukur, Kamis (27/7), keluarga Maksum menggelar selamatan. Sanak saudara pun berdatangan.
***
1957, Maksum merantau ke Surabaya bersama istrinya. Meninggalkan kampung kelahirannya di Desa Bates, Kecamatan Blega, Kabupaten Bangkalan, Madura."Saat itu belum punya anak. Pertama di Surabaya, saya numpang di rumah paman," kenangnya berkisah saat ditemui wartawan di rumahnya.
Tahun pertama di Kota Pahlawan, Maksum bekerja sebagai kuli panggul di Pasar Bong, dekat Makam Sunan Ampel. Setahun kemudian pindah tempat tinggal, menyewa sebuah rumah kecil di Pabean Cantikan.
Baca: Kisah Heroik Doktor Prostitusi
"Sejak itu saya beralih ke becak (bekerja menjadi tukang becak). Model setoran ke pemilik becak," tuturnya.
Masa-masa awal di Surabaya, Maksum merasakan rezeki yang diperolehnya 'kembang-kempis'. Terkadang tidak ada bahan makanan apapun untuk dimasak sang istri, karena tidak ada sepeser uang pun yang diperoleh dari seharian bekerja.
"Timbul perasaan, kalau kerja saja, tidak sempurna. Lalu saya mohon kepada Allah Swt," ucapnya."Saya berdoa cara Madura: Ya Allah, bedhen kauleh parengeh rajheke se bennyak ben halal (Ya Allah, limpahilah hamba rezeki yang halal dan banyak)."
Maksum tak putus asa. Dengan becak 'berkaratnya' dia terus bekerja. Pada 1970-an, dia memutuskan pindah tempat tinggal lagi, kali ini di Kapasan Samping, Kelurahan Kapasan, Kecamatan Simokerto.
Rupanya 'hijrahnya' mengubah nasibnya, "Lambat laun saya bisa menabung. Saya akhirnya bisa beli becak milik majikan, waktu itu 20 ribu rupiah," katanya. Namun di 1996, Maksum merasakan duka mendalam karena istri tercintanya, Zaenab meninggal dunia.
***
Sepeninggal istrinya, Maksum melanjutkan hidup tetap dengan menarik becak, meski enam anaknya -- dari total 14 anak, delapan anak meninggal dunia -- sudah besar. "Saya tetap bekerja menarik becak. Saya tidak ingin merepotkan anak-anak," ucapnya.Tahun itu pula terbesit di hati Maksum untuk menunaikan ibadah haji. Dia pun berusaha menabung dengan menyisihkan uang hasil mengayuh becak.
"Saya berdoa cara Madura: Ya Allah, bedhen kauleh parengeh rajheke se bennyak ben halal (Ya Allah, limpahilah hamba rezeki yang halal dan banyak)," katanya.
GANG SEMPIT, HATI BESAR: Maksum, di gang tempat tinggalnya yang sempit di Kapasan Samping, Kelurahan Kapasan, Simokerto, Surabaya. | Foto: Barometerjatim.com/ENEF MADURY
14 tahun kemudian, diantar menantunya, dia 'nekat' membuka rekening di sebuah kantor bank di dekat rumahnya. "Buka rekening pertama saya setor Rp 800 ribu. Ketika ditanya (petugas bank) saya langsung bilang untuk naik haji," ujarnya.
Sejak itu, sebulan sekali dia rajin menabung ke bank, kadang Rp 500 ribu terkadang Rp 1 juta. Tergantung penghasilan yang disisihkan dari hasil mengayuh becak. "Tahun ini saya dipanggil untuk berangkat ke Tanah Suci. Saya bersyukur Allah mengabulkan keinginan saya," tandasnya.
Baca: Promotor Budaya Panji, Dunia Baru Prof Wardiman
Tekad besar dan kerja keras Maksum dikagumi banyak pihak, tak terkecuali Sekretaris KBIH Muhammadiyah Surabaya, Ali Fauzi yang membimbing manasik haji Maksum.
"Dia juga tidak malu-malu, datang ikut manasik haji dari rumahnya ke KBIH kami dengan naik becak," ujarnya.