RUSAK TRADISI POLITIK NU: Hasto Kristiyanto, pernyataannya dinilai merusak tradisi politik NU di Jawa Timur YANG takzim terhadap para kiai serta mengutamakan tabayyun . | Foto: Ist
SURABAYA, Barometerjatim.com Pernyataan Sekjen DPP PDIP, Hasto Kristiyanto yang mengkambinghitamkan pihak sana terkait drama foto hot mirip bakal Cawagub Jatim, Abdullah Azwar Anas memicu reaksi banyak pihak di Jatim. Salah satunya Jaringan Muda Nahdlatul Ulama (Jarmunu).
Baca juga: VIDEO: Apa sih Dosa Adi Sutarwijono Sampai Dicopot dari Ketua PDIP Surabaya?
"Statement Hasto terlalu nekat dan jauh dari kata beradab untuk sosio-politik Jatim," kata Korda Jarmunu Surabaya, Erwanto, Jumat (5/1).
"Sebab, di Jatim ini masih mengetengahkan tradisi politik NU yang takzim terhadap para kiai, serta mengutamakan tabayyun jika dihadapkan dengan masalah. Bukan malah main tuduh dan tuding kasar begitu. Itu namanya merusak tradisi politik NU di Jatim."
Baca: Foto Hot Mirip Azwar Anas Viral, PDIP Cari Kambing Hitam
Bagi Erwanto, pasangan Saifullah Yusuf-Azwar Anas adalah kader NU yang di belakangnya ada beberapa kiai NU. Begitu pula dengan pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak, kader NU yang didukung banyak kiai NU.
Baca juga: Dicopot dari Ketua PDIP Surabaya, Adi Sutarwijono Tegak Lurus dengan Megawati!
Bahkan dalam barisan pendukung Khofifah-Emil, kata Erwanto, terdapat dzurriyah (keturunan) pendiri NU. Di antaranya KH Salahudin Wahid, KH Asep Saifuddin Chalim dan Bu Nyai Mahfudoh Wahab Chasbullah.
"Nah, Hasto itu siapa? Kok berani-beraninya menghadapkan kami pada tudingan yang memicu konflik horizontal antarwarga NU? Sekali lagi saya tanya, Hasto itu siapa?" tandasnya.
Baca: Anas Alihkan Foto Hot dengan Cerita Pimpin Banyuwangi
Baca juga: Dicopot dari Ketua PDIP Surabaya, Ini Nasib Adi Sutarwijono sebagai Ketua DPRD!
Menurut Erwanto, Hasto tak peka terhadap perubahan zaman, sehingga analisa politiknya masih menggunakan kacamata konvensional. Masih meletakkan realitas politik sebagai fakta yang dibaca kawan dan lawan, hitam dan putih, salah dan benar, menang dan kalah.
Padahal sudah saatnya di zaman now ini, perspektif politik tidak hanya diletakkan pada oposisi biner. "Tapi sebagai sarana untuk mendapat kesempatan mengabdi pada bangsa dan negara, dengan landasan konstitusi serta nilai etik yang ada di tengah masyarakat," tegasnya.
Editor : Redaksi