Dituntut 12 Tahun Penjara dan Bayar UP Rp 39,5 M, Pledoi Sahat: Sangat Berat! KPK Bagaikan Malaikat Pencabut Nyawa

Reporter : -
Dituntut 12 Tahun Penjara dan Bayar UP Rp 39,5 M, Pledoi Sahat: Sangat Berat! KPK Bagaikan Malaikat Pencabut Nyawa
TUNTUTAN BERAT: Sahat berbincang dengan tim penasihat hukumnya di sidang pledoi. | Foto: Barometerjatim.com/RQ

SIDOARJO, Barometer Jatim – Sahat Tua Simandjuntak, terdakwa perkara korupsi dana hibah pokok-pokok pikiran (pokir) DPRD Jatim mencurahkan habis isi hatinya saat membacakan pledoi pribadi menanggapi tuntutan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) pada persidangan ke-19 di Pengadilan Tipikor Surabaya, Jalan Raya Juanda Sidoarjo, Jumat (15/9/2023).

Bagi Sahat, tututan JPU KPK supaya majelis hakim memberi vonis dengan pidana pokok 12 tahun penjara, pidana tambahan uang pengganti (UP) Rp 39,5 miliar, denda Rp 1 miliar, dan pecabutan hak politik selama 5 tahun sangat berat, sangat memberatkan diri dan keluarganya.

Terlebih, dia merasa tidak menerima ijon fee hingga Rp 39,5 miliar dari Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi -- keduanya sudah divonis masing-masing 2 tahun 6 bulan penjara. “Bagaimana saya harus mengakui sesuatu yang tidak pernah saya tahu dan tidak pernah saya terima,” katanya.

Politikus Partai Golkar Jatim itu menegaskan, dirinya tidak pernah membuat kesepakatan dengan siapa pun terkait persentase fee 20% atau berapa pun tentang pengusulan dana hibah.

| Baca juga:

“Semua yang disampaikan saksi Abdul Hamid maupun Ilham Wahyudi tidak benar. Sejak awal saya tidak pernah mengambil keuntungan pribadi dari apa pun untuk kepentingan masyarakat,” tandasnya.

Rp 39,5 miliar, lanjutnya, adalah angka yang sangat besar dan tidak mungkin secara logika ada orang menyerahkan tapi tidak pernah tahu uang tersebut sampai atau tidak pada penerimanya.

“Apalagi saudara Hamid dan Ilham menyerahkan uang puluhan miliar itu sebelum 2022, sedangkan mengenal saya baru 2022. Jadi tuntutan hukum itu sangat berat bagi saya dan memberatkan keluarga saya,” ujarnya.

Terlebih, lanjut Sahat, selama proses hukum semua wartawan memberitakan. Bahkan ratusan konten YouTube berkaitan dengan perkaranya beredar di dunia maya dan jejak digitalya tidak akan pernah hilang selamanya, menjadikan sanksi sosial seumur hidup.

Ibarat Kematian Transisi

USAI PLEDOI: Sahat Simandjuntak usai menjalani sidang pledoi perkara korupsi hibah. | Foto: Barometerjatim.com/RQ

Sahat menambahkan, saat ini dirinya masih berada di tahanan Lapas Sidoarjo. “Kehidupan di penjara, saya ibaratkan sebuah kematian yang bersifat transisi, suatu tingkatan kematian di bawah kematian yang sesungguhnya. Hidup tapi mati, mati tapi hidup,” katanya.

Bila dalam kematian yang sesungguhnya, tutur Sahat, saat malaikat menjemput ajal maka tidak mungkin meminta penundaan waktu atau mengajak orang lain uhtuk menemani menuju pengadilan Sang Pencipta. Atau mengajak orang lain untuk dikambinghitamkan sebagai orang yang bersalah di tengah pengadilan Sang Pencipta.

“Demikian pula saya rasakan, ketika KPK menangkap, OTT saya. Saya menganggap KPK itu bagaikan malaikat pencabut nyawa yang menjemput saya,” katanya.

| Baca juga:

Perbedaannya, bila kematian yang sesungguhnya sering tidak ada kesempatan untuk meminta doa atau ampun sebagai penebus dos selama di dunia. Sedangkan ditangkap KPK masih diberi kesempatan untuk berdoa dan beribadah selama di penjara.

Hal ini sangat sulit diterima Sahat selama kurun waktu ketika awal ditahan, meski dia menyadari bahwa perkara yang menjeratnya bukanlah cobaan dari Tuhan, tapi memang karena kesalahannya.

Karena itu, sekali lagi Sahat menyatakan bahwa  tuntutan 12 tahun penjara dan membayar UP Rp 39,5 miliar sangatlah berat dan memberatkan keluarganya.{*}

| Baca berita Korupsi Hibah Jatim. Baca tulisan terukur Rofiq Kurdi | Barometer Jatim - Terukur Bicara Jawa Timur

Simak berita terukur barometerjatim.com di Google News.