Peluang Besar Potensi Daerah Pasca Suramadu Digratiskan

Pembangunan jembatan ini juga berdampak dari sisi sosial budaya. Menurut Zawawi Imron dalam artikelnya yang berjudul "Suramadu", sebagian orang Madura yang merantau ke Surabaya atau ke kota lain di Jawa menggunakan istilah ongghe (naik) dan thoron (turun) untuk kembali ke Madura.
Istilah tersebut seolah menggambarkan Madura lebih rendah dibanding Surabaya atau Jawa. Oleh karena itu, adanya Jembatan Suramadu dapat menjadi pemersatu.
Meski demikian, pembangunan Jembatan Suramadu, pertumbuhan ekonomi masyarakatnya belum mengalami pertumbuhan signifikan. Presiden Joko Widodo menerima saran dari beberapa tokoh masyarakat dan agama untuk membebaskan biaya bagi sepeda motor yang melintasi Jembatan Suramadu.
Akhirnya, di 2015 saran tersebut direalisasikan dan di tahun berikutnya diikuti penurunan tarif tol sebesar 50 persen untuk mobil. Berbagai upaya tersebut nyatanya belum memberikan perubahan besar.
Hingga akhirnya, di 2018 Presiden Joko Widodo resmi membebaskan seluruh tarif tol bagi kendaraan yang melintasi Suramadu dan menjadikan jembatan tersebut sebagai jembatan non tol.
Kebijakan ini tentu saja menuai pro kontra dari berbagai pihak, ada yang mendukung ada pula yang menolak. Pembebasan tarif tol Jembatan Suramadu ini memang membuka kesempatan yang lebih besar bagi daerah di Madura untuk mengembangkan perekonomian.
Akan tetapi, di sisi lain kebijakan ini juga dapat menimbulkan dampak negatif. Salah satunya yaitu sepinya penyeberangan Ujung-Kamal.
Pembebasan tarif tol mengakibatkan semakin banyak masyarakat yang beralih menggunakan kendaraan bermotor. Padahal penyeberangan Ujung-Kamal memiliki peran penting sebagai infrastruktur pendukung yang menghubungkan Surabaya-Madura.
Agar pembebasan tarif tol Jembatan Suramadu dapat menjadi peluang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara nyata, maka dibutuhkan kerjasama dan penyatuan tujuan antara masyarakat dengan pemerintahan setempat. Salah satu potensi daerah yang dapat ditingkatkan adalah sektor wisata.
Beberapa wisata alam dari Madura yang mulai dilirik adalah Bukit Jaddih, Gili Labak, Bukit Kapur Arosbaya, Pantai Gili Iyang, Pantai Sembilan dan masih banyak lagi.
Diperlukan perencanaan pengembangan wisata dari sisi antropologis untuk mengetahui pandangan masyarakat tentang wisata, sehingga ke depannya sektor pariwisata tidak merugikan masyarakat lokal dan justru memberikan keuntungan.
***
Menurut Smith (1989) dalam tulisan Nurdin yang berjudul Budaya, Pariwisata Dan Ethno-Ecotourism: Kajian Antropologi Pariwisata di Provinsi Lampung, terdapat dua perspektif yang dapat digunakan untuk pengembangan wisata.
Perspektif pertama menjelaskan masyarakat beranggapan bahwa wisata akan menimbulkan kerusakan. Banyaknya pengunjung yang berdatangan membawa kebudayaan baru dan akan menggerus kebudayaan masyarakat lokal.
Dari sisi pengembang pariwisata, masyarakat dianggap sebagai penghambat pembangunan wisata, sehingga antara pengembang pariwisata dengan masyarakat lokal saling menjatuhkan satu sama lain.
Sementara perspektif kedua dari antropologi pariwisata ini menjelaskan bahwa masyarakat menjadi pelaku dalam sektor pariwisata sehingga bersedia memberi kontribusi besar dalam pengelolaan wisata yang ada.
Masyarakat lokal dan pengembang pariwisata akan bekerja sama baik dalam perencanaan, pelaksanaan, hingga pembagian hasil dari pariwisata tersebut agar wisata yang ada menjadi sebuah obyek yang menguntungkan kedua belah pihak.
Pada pandangan kedua ini dapat disebut juga dengan pendekatan ethno-ecotourism, dimana masyarakat asli dari lokasi wisata tersebut bersedia menjadi mitra dalam pembangunan pariwisata.
Dengan mengetahui pandangan masyarakat lokal terhadap adanya pariwisata, dapat disusun rencana pembangunan yang tepat sehingga pertumbuhan ekonomi berjalan lancar dan tidak merugikan pihak lain.
Setiap kebijakan menghasilkan dampak positif dan negatif, begitu pula dengan pembebasan tarif tol Jembatan Suramadu ini. Akan tetapi, kebijakan ini dapat menjadi dimanfaatkan dan menjadi peluang bagi masyarakat dan pemerintahan setempat demi Madura yang lebih baik.
- Penulis adalah alumnus Antropologi FISIP Universitas Airlangga