Gugatan Risma-Gus Hans di MK Kandas, Khofifah-Emil Kembali Bertakhta di Jatim!

JAKARTA | Barometer Jatim – Tuntas sudah Pilgub Jatim 2024, setelah gugatan Tri Rismaharini-Zahrul Azhar Asumta (Risma-Gus Hans) di Mahkamah Konstitusi (MK) kandas. Dengan demikian, Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak kembali memimpin Jatim untuk periode kedua.
Permohonan Risma-Gus Hans tidak dapat diterima tertuang lewat amar putusan yang dibacakan Ketua MK, Suhartoyo pada sidang putusan dismissal sengketa Pilgub Jatim 2024 di Gedung MK, Jakarta, Selasa (4/2/2025).
“Dalam eksepsi, mengabulkan eksepsi termohon (KPU Jatim) dan pihak terkait (Khofifah-Emil) berkenaan dengan kedudukan hukum pemohon (Risma-Gus Hans). Menolak eksepsi termohon dan eksepsi pihak terkait untuk selain dan selebihnya. Dalam pokok permohonan, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” kata Suhartoyo diiringi ketukan palu.
Sebelumnya, terkait dalil-dalil yang dikemukakan pemohon, mahkamah berpendapat tidak beralasan menurut hukum.
Perihal dalil pemohon terjadi manipulasi persentase suara paslon nomor urut 2 (Khofifah-Emil) dalam Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi Pilkada) yang stabil pada angka 58,54%.
“Mahkamah menilai hal demikian bukan tidak mungkin terjadi, namun tidak serta merta dapat dimaknai bahwa telah terjadi manipulasi data, karena Sirekap berbasis pada data riil yang disampaikan dari masing-masing TPS,” kata Saldi Isra, hakim anggota.
Selain itu, tandasnya, data yang ada pada Sirekap justru disesuaikan dari data penghitungan atau rekapitulasi manual yang diperoleh secara berjenjang, bukan sebaliknya.
Sehingga jikapun terdapat anomali atau kendala teknis pada Sirekap, selama tidak dapat dibuktikan bahwa permasalahan demikian memengaruhi perolehan suara pasangan calon yang dilakukan melalui mikanisme penghitungan manual secara berjenjang, maka tidak terbukti pula manipulasi Sirekap yang didalilkan pemohon.
“Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, mahkamah berpendapat dalil pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum,” ucap Saldi.
Dalil Manipulasi Suara
Lalu terhadap dalil pemohon perihal telah terjadi manipulasi formulir model C.Hasil-KWK-Gubernur dengan cara menghapus perolehan suara paslon nomor urut 1 (Luluk Nur Hamidah-Lukmanul Khakim) dan paslon nomor urut 3, serta mengirimkan dokumen C.Hasil-KWK-Gubernur versi susulan yang berbeda dengan versi awal dan seterusnya, mahkamah mendapati bahwa dalam bukti dimaksud saksi pemohon bertanda tangan.
“Sehingga tidak dapat disimpulkan bahwa formulir C.Hasil-KWK-Gubernur yang dibetulkan dengan tip-x merupakan hasil menipulasi perolehan suara, apalagi sampai memengaruhi perolehan suara pasangan calon tertentu,” katanya.
Oleh karena bukti-bukti pemohon memperlihatkan saksi pemohon bertanda tangan pada sebagian besar formulir C.Hasil-KWK-Gubernur yang dianggap versi susulan, serta tidak ada catatan keberatan mengenai kejadian khusus di Kecamatan Galis dan Konang dalam laporan Bawaslu Kabupaten Bangkalan.
Maka mahkamah berpendapat, tidak ada persoalan terkait dengan formulir model C.Hasil-KWK-Gubernur di Kecamatan Galis dan Konang yang belum terselesaikan.
Adapun formulir model C.Hasil-KWK-Gubernur tersebut merupakan hasil manipulasi, quod non, total jumlah suara di 30 TPS yang didalilkan pemohon tidak signifikan untuk memengaruhi perolehan suara paslon.
“Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, mahkamah berpendapat dalil pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum,” tegas Saldi.
Terhadap dalil pemohon perihal terjadi pengurangan suara pemohon dan penambahan suara pihak terkait yang dikaitkan dengan tingginya tingkat partisipasi pemilih mencapai 90 sampai 100 persen dari Daftar Pemilih Tetap (DPT), serta ketidaksesuaian antara jumlah Pemilih Pilgub dengan Pilbup/Pilwali perolehan suara pemohon di sejumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) kurang dari 30 sampai 0 suara.
Mahkamah berpendapat, meskipun dari bukti-bukti yang pemohon ajukan terlihat memang tingkat partisipasi pemilih sangat tinggi, serta terjadi ketidaksesuaian antara jumlah pemilih Pilgub dengan Pilbup/Pilwali di beberapa TPS serta perolehan suara yang sangat rendah di beberapa TPS, namun pemohon tidak dapat meyakinkan mahkamah bahwa fenomena tersebut terjadi secara melawan hukum.
Hal demikian menyebakan pemohon tidak bisa meyakinkan mahkamah dalil a quo benar terjadi, dan jikapun terjadi, quod non, tidak signifikan untuk dapat melampaui suara pihak terkait. Karena itu, dalil ini juga dinilai tidak beralasan menurut hukum.
Argumentasi Tak Jelas
DITOLAK: Kuasa Hukum Pemohon, Triwiyono Susilo (kiri) hadir pada sidang putusan dismissal. | Foto: MK
Berikutnya terhadap dalil pemohon perihal total suara Pilgub Jatim sangat tinggi mencapai 1.204.610 atau setara dengan 5,5 persen dan suara Pilgub lebih besar dari Pilbup/Pilwali.
Mahkaman berpendapat, pemohon tidak membangun argumentasinya dengan jelas mengenai surat tidak sah. Apakah surat suara tersebut memang tidak memenuhi ketentuan Pasal 35 PKPU 17/2024 ataukah dapat intervensi secara melawan hukum atau manipulasi, terutama dari penyelenggara dalam menetapkan surat suara tersebut sah atau tidak sah.
“Dengan demikian, dalil pemohon tidak meyakinkan mahkamah bahwa jumlah surat suara tidak sah yang sangat banyak berkaitan dengan pengurangan perolehan suara pemohon. Terlebih jumlah surat suara tidak sah dimaksud, tidak dapat dibuktikan secara meyakinkan, hanya menguransi perlehan suara pasangan calon tertentu saja,” paparnya.
Berikutnya terhadap dalil penyaluran bansos Program Keluarga Harapan (PKH) telah menguntungkan elektabilitas calon tertentu. Pandangan demikian menurut mahkamah hanya akan menjadi asumsi, kecuali dibuktikan oleh pemohon bahwa memang ada keterkaitan secara nyata antara bansos PKH yang dibagikan dengan perolehan suara salah satu pasangan calon.
“Dibuktikan pula siapa yang terlibat pemanfaatkan bansos untuk kepentingan elektabilitas salah satu pasangan calon, dengan cara apa bansos tersebut dimanfaatkan untuk memengaruhi masyarakat menerima bansos untuk memilih.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut, mahkamah berpendapat dalil pemohon a quo tidak terdapat alasan untuk mengesampingkan ketentuan Pasal 158 Undang-Undang (UU) Nomor 10/2016 yang berkaitan dengan kedudukan hukum pemohon.
Selain itu, mahkamah juga tidak menemukan adanya kejadian khusus perbedaan perolehan suara antara pihak terkait dengan pemohon adalah 5.449.070 suara atau setara dengan 26,3 persen atau lebih dari 103.663 suara.
Karena itu dalam pertimbangannya, pemohon dipandang tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. “Dengan demikian, eksepsi termohon dan pihak terkait bahwa pemohon tidak memiliki kedudukan hukum adalah beralasan menurut hukum,” ujar Saldi.{*}
| Baca berita Pilgub Jatim. Baca tulisan terukur Rofiq Kurdi | Barometer Jatim - Terukur Bicara Jawa Timur