Mencermati Upaya Interpelasi DPRD Jatim kepada Khofifah
Dr Sri Setyadji SH MHum | Foto: IST
KATA deadline dalam terminologinya bisa dimaknai batas akhir, waktu terakhir untuk berbuat sesuatu, atau menyampaikan sesuatu. Jika kata ini dikaitkan dengan akan adanya hak interpelasi DPRD Jatim, kenapa harus deadline? Tidakkah komunikasi untuk terciptanya harmonisasi mungkin lebih arif.
Namun demikian rupanya DPRD berkeinginan akan menindaklanjuti hak interpelasi, walaupun masih harus melalui tahapan dalam proses dan mekanismenya. Jikalau benar terjadi adanya hak interpelasi, semestinya DPRD sudah mengetahui secara prinsip problem materi yang hendak diinterpelasi.
Dalam hal ini, secara yuridis yang harus dijadikan pedoman dan parameter hak interpelasi adanya regulasi yang dijadikan dasar pijakan kebijakan yang dilakukan Pemprov Jatim.
Apakah dasar regulasi tersebut ada konflik norma dengan regulasi yang lain, baik secara horizontal maupun vertikal. Dan juga apakah benar kebijakan tersebut ada akibat yang berdampak secara luas pada kelangsungan masyarakat.Dari parameter tersebut, perlu juga dicermati apakah keluarnya kebijakan Pemprov, secara yuridis dan prinsip karena mekanismenya yang keliru, dan apakah karena secara normatif ada syarat dalam substasi yang tidak terpenuhi.
Dalam berbagai media yang beredar, DPRD dalam hal ini Komisi C, mempersoalkan keberadaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 1997 dan POJK 55/2016, serta Permendagri Nomor 38/ 2018.
Terhadap persoalan dalam konteks ini, setelah dicermati, bahwa memang ada "problematika hukum" dalam peraturan perundangan yang terkait. Dalam dunia akademisi dan dunia hukum, persoalan demikian lazim disebut dengan conflict of norm atau ada konflik norma.Lebih lanjut, jikalau terjadi conflict of norm, maka penyelesaian atas persoalan dimaksud dengan menggunakan pada landasan asas dalam perundang-undangan.
Dalam belantara hukum disebut dengan asas "preferensi" perundangan, dimana dalam asas ini dikenal ada tiga asas, yakni:
- Lex Superiory Derogat Legi Inferiori. Bahwa tatanan sebuah peraturan perundangan harus mengikuti hirarki, dimana aturan yang dibuat tidak boleh bertentangan secara vertikal. Artinya Peraturan dalam tata urutan yang keberadaanya di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang di atasnya.
- Lex Specialis Derogat Legi Generali. Hukum atau peraturan yang khusus mengalahkan, mengesampingkan hukum yang umum. Artinya, dalam sebuah peristiwa, kejadian atau keputusan hal yang bersifat khusus dapat meniadakan hal yang bersifat umum, namun kedudukan regulasinya horizontal (sederajat).
- Lex Posteriory Derogat Legi Superiori. Adanya hukum atau perundangan yang baru, mengesampingkan atau secara otomatis hukum yang lama tidak berlaku.
Oleh karenanya, setelah mengidentifikasi problematika hukum tersebut apakah termasuk asas ke-1, ke-2 dan atau ke-3, maka DPRD juga harus cermat terhadap materi interpelasi. Apakah kebijakan Pemprov Jatim terkait pada norma proses dan mekanisme, atau pada substansi norma persyaratan.
Hal ini menjadi penting, karena antara norma yang mengatur prosedur, mekanisme dan norma yang mengatur persyaratan tentu mempunyai dampak dan implikasi hukumnya berbeda pula.
Ada ilustrasi yang disebutkan dalam berbagai media, bahwa pasal 6 POJK Nomor 55/2016 tentang Koreno (Komite Remunerasi). Hal ini bisa diperdalam dan dicermati serta dimaknai sejauh mana tugas, fungsi, kewenangan Koreno. Apakah proses dan mekanisme atau substansi persyaratan.Karena dalam pasal yang sama, di ayat 3, setiap direksi harus mengikuti uji kelayakan dan kepatuhan. Norma Ini menjadi bias, samar karena sudah direksi masih harus mengikuti uji kepatutan.
Terlepas dari ilustrasi tersebut, bahwa POJK Nomor 55 ini ditetapkan pada Tahun 2016, di sisi lain ada PP 54 Tahun 2017.Fakta yuridis inilah yang harus diperdalam oleh DPRD, karena tidak menutup kemungkinan terjadinya persoalan dan atau problematika hukum yang mungkin juga bisa terjadi pada kurun waktu sebelumnya. Wallahu a'lam..
*Penulis Dr Sri Setyadji SH MHum Pakar Hukum dan Masyarakat Untag Surabaya