Mahfud MD: Pak Harto Penuhi Syarat Jadi Pahlawan, Ukurannya Bukan KKN tapi Hukum!

Reporter : -
Mahfud MD: Pak Harto Penuhi Syarat Jadi Pahlawan, Ukurannya Bukan KKN tapi Hukum!
BICARA PAHLAWAN: Mahfud MD menjadi pembicara dalam diskusi di Unair Surabaya. | Foto: Barometerjatim.com/BKT

SURABAYA | Barometer Jatim – Pakar Hukum Tata Negara, Prof Mahfud MD menyebut Presiden ke-2 RI, Soeharto alias Pak Harto memenuhi syarat untuk menjadi Pahlawan Nasional meski terjadi pro-kontra.

Hal itu dikatakannya saat menjadi pembicara dalam Diskusi Bersama Rakyat (Diraya) yang digelar Kemenpolstrat BEM Unair dan Center for Statecraft and Citizenship Studies (CSCS) di Gedung Fakultas Hukum Kampus B Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jumat (14/11/2025).

Menurut Mahfud, ukuran untuk bisa mendapat gelar pahlawan bukan karena terlibat masalah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) seperti tuduhan yang selama ini disematkan kepada Soeharto, tapi berdasarkan tinjauan hukum dan di mata hukum "Bapak Pembangunan" itu bisa menjadi pahlawan.

"Kalau di pemerintahannya ada KKN, banyak korupsi, lalu seorang pemimpin tidak bisa jadi pahlawan, kita ndak usah punya pahlawan karena di semua pemerintahan itu korupsinya banyak, mulai zaman Bung Karno sampai sekarang," katanya.

Syarat Hukum Terpenuhi

Kalau alasannya Soeharto tidak boleh dapat gelar pahlawan karena KKN, tandas Mahfud, maka semua presiden setelahnya juga tidak boleh mendapat gelar tersebut.

"Ndak boleh, karena KKN tetap ada. Nah, oleh sebab itu saya bilang ukuran pahlawan itu bukan KKN, apa ukurannya? Hukum!" tegasnya lagi.

Hukum menyatakan, lanjut Mahfud, orang yang boleh menjadi pahlawan itu ukurannya, pertama, warga Indonesia. Kedua, sudah meninggal dunia.

Ketiga, berjasa dalam memperjuangkan dan mempertahan kemerdekaan. Keempat, mempunyai prestasi luar biasa yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa dan negara. 

ANTUSIAS: Suasana Diskusi Bersama Rakyat (Diraya) di Unair Surabaya dijubeli peserta. | Foto: Barometerjatim.com/BKTANTUSIAS: Suasana Diskusi Bersama Rakyat (Diraya) di Unair Surabaya dijubeli peserta. | Foto: Barometerjatim.com/BKT

"Nah kalau berdasarkan ukuran itu, Pak Harto itu seperti halnya yang lain, seperti halnya Bung Karno memenuhi syarat (menjadi pahlawan) secara hukum. Dia berjasa, dia berperan mempertahankan lalu memimpin sampai diberi gelar Bapak Pembangunan," tegasnya.

"Lalu syarat berikutnya tidak pernah mengkhianati negara. Itu seluruhnya yang dibuktikan dengan putusan pengadilan. Lalu syarat berikutnya lagi tidak pernah lari dari tugas, artinya disersi. Sedang perang itu lari, ndak berani ngelawan," lanjutnya.

Berdasarkan ukuran-ukuran tersebut, menurut Mahfud, secara hukum Soeharto berhak mendapat gelar pahlawan. Tinggal secara politik yang dibahas masyarakat melalui diskusi atau seminar, baik yang digelar di Pemda serta penilaian di Kementerian Sosial (Kemensos) dan Menkopolhukam. 

Hasil kajian tersebut, papar Mahfud, lalu diserahkan ke presiden yang sudah membentuk tim khusus untuk membantu memutuskan apakah gelar pahlawan itu layak diberikan atau tidak kepada yang bersangkutan.

"Terserah presiden, karena itu hak prerogatifnya presiden. Kalau menurut undang-undang ndak ada (penilaian dari) Dewan Gelar, ndak ada Mensos. Menurut undang-undang gelar pahlawan itu diberikan oleh presiden sebagai hak prerogatif," katanya.

Tapi agar berhati-hati, pemerintah sejak reformasi membentuk tim. Mulai dari melibatkan Dewan Gelar, Kemensos, hingga dibentuk tim khusus yang membantu presiden untuk menilai. Tapi secara  hukum tidak ada pasalnya.  

Soal Pelanggaran HAM

Sementara terkait dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Soeharto selama 32 tahun menjabat presiden dan keterlibatannya dalam peristiwa 1965, Mahfud menegaskan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengakui adanya peristiwa tersebut.

Bahkan, kata Mahfud, Jokowi sudah membuat Keppres terkait kasus pelanggaran HAM yang terdiri dari 13 peristiwa, satu di antaranya peristiwa 1965-1966.

"Tapi dalam peristiwa 1965-1966 tidak menyebut yang salah itu pemerintah, hanya mengakui peristiwa," katanya.

Berdasarkan hasil penelitian, kata Mahfud, pihaknya sesudah membentuk tim waktu itu menyebut peristiwa 1965-1966 itu tidak berdiri sendiri.

"Itu sebenarnya terjadi sejak 1963. Tahun 1963 presidennya itu Bung Karno bukan Pak Harto," katanya.

"Penyerangan ke masjid-masjid, ke pesantren-pesantren, pembunuhan keluarga, di mana sumur-sumurnya itu dikasih racun, itu peristiwanya 1963, sampai terjadi perang sipil lah. Meletus tahun 1965," bebernya.

"Tahun 1965 itu, kalau mau disebut G30S, itu banyak sisinya. Pusat sejarah TNI menyebut pelakunya PKI, kelompok barat dan kiri menyebut pelakunya TNI, NU menyebut PKI pelakunya," sambungnya.

Jadi, ucap Mahfud, ada tujuh teori yang mengkaji peristiwa 1965. "Dan belum ada siapa pelaku sebenarnya. Ada teori Attorney yang terkenal itu, teori Attorney, Ben Anderson. Banyak teori, banyak hasil penelitian dari situ. Oleh sebab itu, kita lepaskan dari situ," tegasnya.{*}

| Baca berita Pahlawan Nasional. Baca tulisan terukur Andriansyah | Barometer Jatim - Terukur Bicara Jawa Timur

Simak berita terukur barometerjatim.com di Google News.