Mahasiswa Gencar Aksi Indonesia Gelap, LaNyalla Ajak Kembali ke Pancasila agar Terang!

Reporter : -
Mahasiswa Gencar Aksi Indonesia Gelap, LaNyalla Ajak Kembali ke Pancasila agar Terang!
4 PILAR MPR RI: Anggota DPD RI, LaNyalla Mattalitti sosialisasi empat pilar MPR RI di Surabaya. | Foto: IST

SURABAYA | Barometer Jatim – Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menegaskan aksi mahasiswa yang mengusung tagar "Indonesia Gelap" dapat dipahami sebagai akumulasi kekecewaan atas harapan besar mereka.

Ketua DPD RI ke-5 itu menghormati pikiran dan pendapat mahasiswa. Meski demikian, dia juga mengajak untuk berpikir lebih kritis dalam melakukan koreksi atas apa yang terjadi di Indonesia. Terutama persoalan yang paling fundamental, yakni konstitusi harus diperkuat agar Indonesia kembali berdaulat, berdikari, dan berkepribadian.

Hal itu disampaikan LaNyalla saat menjadi pembicara utama dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR-RI dengan tema "Kembali ke UUD 1945 untuk menjaga Kebutuhan NKRI" di Surabaya, Kamis (27/2/2025).

Hadir dalam kegiatan tersebut Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari berbagai perguruan tinggi di Surabaya, di antaranya BEM Universitas Airlangga (Unair), BEM Unesa, BEM UWKS, BEM UHT, BEM Fisip UHT, BEM Unitomo, BEM UIN Sunan Ampel Surabaya, BEM Ubhara.

Selain itu hadir Sapma Pemuda Pancasila Surabaya, serta Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum Kadin Jatim Diar Kusuma Putra. Hadir pula sebagai narasumber yakni Sekretaris MPW Pemuda Pancasila Jatim, M Agus Diah Muslim.

“Indonesia yang dianugerahi kekayaan alam, sudah sejak dulu menjadi incaran negara-negara maju yang tidak memiliki sumber alam. Mulai dari datangnya VOC hingga penjajahan Belanda,” kata LaNyalla.

“Bahkan lanjut hingga saat ini melalui kolonialisme bentuk baru yang masuk melalui liberalisasi di semua lini, baik politik maupun ekonomi yang dilakukan secara sistematis oleh para kapitalis neo-liberal yang memang wataknya predatorik,” tandasnya.

Gerakan Liberalisme

Diungkap LaNyalla, setelah Perang Dunia ke-2 usai pada Mei 1945, negara-negara tersebut ternyata tidak berhenti untuk menguasai negara-negara yang baru merdeka dan berkembang, termasuk Indonesia.

Mereka menyusun strategi kolonialisme baru, tanpa penjajahan fisik, tanpa harus mengirim tentara tetapi dengan tujuan yang sama melalui paradigma neo-liberalisme. Sehingga negara-negara maju tersebut memprakarsai gerakan untuk melakukan liberalisme di negara-negara yang baru merdeka dan negara-negara berkembang.   

“Soekarno-Hatta saat itu menolak, karena mereka tahu gerakan liberalisme hanya akan menjadikan Indonesia koloni dalam bentuk lain atas negara-negara kapitalis tersebut,” kata LaNyalla.

“Apalagi para pendiri bangsa saat itu tahu persis bahwa hanya Pancasila, sistem demokrasi khas Indonesia yang dapat mengantarkan bangsa ini berdaulat dan berdikari serta berkepribadian. Tetapi Soekarno akhirnya kalah melawan hegemoni barat tersebut," sambungnya.

BERSAMA MAHASISWA: LaNyalla pose bareng Presiden BEM usai sosialisasi empat pilar MPR RI di Surabaya. | Foto: ISTBERSAMA MAHASISWA: LaNyalla pose bareng Presiden BEM usai sosialisasi empat pilar MPR RI di Surabaya. | Foto: IST

Dan di era Soeharto, imbuhnya, mulailah gerakan liberalisme ini berkembang. Perlahan tapi pasti, hingga puncaknya mencapai kemenangan saat reformasi. Dimana Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 diubah total hingga 95 persen pada saat amandemen empat kali pada 1999 hingga 2002.

"Sejak reformasi dan amandemen konstitusi itu, sistem perekonomian Indonesia diserahkan kepada daulat pasar dan sistem politik Indonesia dijalankan dengan pola one man one vote. Bukan lagi permusyawaratan para hikmat kebijaksanaan," ujar LaNyalla yang memelopori gerakan kembali ke UUD 1945 melalui forum presidium konstitusi itu.

Dia pun menanyakan kepada para mahasiswa, apa yang dihasilkan selama reformasi hingga saat ini? Apakah kehidupan ekonomi rakyat semakin membaik? Lalu mengapa justru lahir segelintir orang yang menguasai 80 persen kekayaan Indonesia? Lalu dengan kekayaannya itu, para oligarki tersebut membiayai politik yang mahal dengan menyuap rakyat yang miskin untuk memenangkan pilihan mereka.

“Ya ini hasilnya. Indonesia semakin terperosok dalam cengkeraman kapitalis. Sumber alam diangkut, lalu produk jadi yang mereka olah di luar kembali masuk ke Indonesia, lalu keuntungan mereka dimasukkan lagi ke Indonesia sebagai tawaran utang dan penanaman modal asing,” katanya.

“Sehingga sejak reformasi utang negara ini semakin besar, dan investasi asing ternyata tidak memberi dampak yang dirasakan rakyat. Karena terbukti, dana perlindungan sosial seperti Bansos dan subsidi lainnya semakin besar dari tahun ke tahun,” bebernya. 

Baca Pemikiran Luhur

Karena itu, LaNyalla mengajak mahasiswa untuk membaca kembali pemikiran-pemikiran luhur para pendiri bangsa. Menghayati suasana kebatinan mereka yang merasakan bagaimana menjadi negara terjajah.

Sehingga, bangsa ini menemukan kesadaran untuk kembali ke jati diri asli Indonesia. Sebuah sistem yang paling cocok dengan watak dasar manusia Indonesia. Yakni manusia yang berkepribadian, manusia yang beragama, manusia yang tolong-menolong, manusia yang gotong royong dan berprinsip kekeluargaan.

Itulah sistem asli bangsa Indonesia, yang dirumuskan para pendiri bangsa. Sistem demokrasi Pancasila dan sistem ekonomi Pancasila, dimana negara berdaulat atas kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat.

Dia menegaskan, kembali ke Pancasila sama sekali bukan berarti kembali ke Orde Baru. Karena justru Orde Barulah yang mulai membuka pintu bagi gerakan kapitalisme global yang berwatak menjajah itu.

"Karena itu saya mengajak semua elemen bangsa, untuk kita kembali ke konstitusi asli, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli. Untuk kemudian kita benahi dan perkuat, agar tidak terulang lagi penyimpangan yang terjadi di era Orde Baru," katanya.

MPR RI, tegasnya, harus dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara yang dihuni oleh para hikmat yang merupakan penjelmaan seluruh elemen bangsa tanpa ada yang ditinggalkan.

"Merekalah yang menentukan arah perjalanan bangsa ini. Bukan seperti hari ini, dimana penentunya adalah partai politik yang berkoalisi dengan presiden terpilih," tukasnya.

Dalam dialog bersama mahasiswa tersebut LaNyalla sependapat bahwa ada beberapa kebijakan pemerintah yang harus dikritisi dan dibenahi.

Termasuk program makan bergizi gratis, yang dalam praktik di lapangan tidak sesuai outcome yang diharapkan. LaNyalla juga mendukung pikiran yang memilih pendidikan gratis, ketimbang makan gratis.{*}

| Baca berita DPD RI. Baca tulisan terukur Rofiq Kurdi | Barometer Jatim - Terukur Bicara Jawa Timur

Simak berita terukur barometerjatim.com di Google News.