42 Hari Lagi Coblosan, Modal Elektabilitas Jokowi Tak Besar


SURABAYA, Barometerjatim.com Pertarungan Pilpres 2019 ternyata jauh lebih ketat dibanding yang diramalkan para tukang ramal di media massa. Hal itu disampaikan Founder dan CEO Polmark Indonesia, Eep Saefulloh Fatah saat memaparkan hasil surveinya di Surabaya, Selasa (5/3/2019).
Dari survei yang dilakukan selama Oktober 2018 hingga Fabruari 2019 di 73 Dapil (172.008.099 pemilih/92,9 persen), agregat pasangan nomor urut 01, Jokowi-Ma'ruf Amin masih leading dengan raihan 40,4 persen, sedangkan Prabowo-Sandiaga 25,8 persen. Namun masih ada undecidad voters (pemilih yang belum menentukan pilihan) 33,8 persen.
Bagi Eep, kendati ada jarak 14,6 persen antara petahana dan penantang, elektabilitas petahana masih membahayakan karena di bawah 50 persen. Artinya, jika dilihat dari pilihan dua sisi maka sangat menantang.
"Bagi petahana, menantangnya adalah biasanya petahana itu punya modal elektabilitas yang besar dari awal. Nah, petahana untuk Pilpres 2019 ternyata tidak punya modal yang cukup besar sebetulnya," katanya.
Apalagi, kata Eep, jika ditelusuri dengan data yang lebih detail, karena Polmark menanyakan di surveinya apakah pilihan responden sudah tetap atau masih mungkin berubah. Ternyata responden yang mengatakan sudah tetap memilih petahana, baru 31,5 persen.
"Jadi angka ini adalah angka-angka dari sisi petahana sangat menantang. Bahkan dalam bahasa yang lebih eksplisit: Membahayakan! Petahana terancam dengan angka elektabilitas yang hanya setinggi itu," jelasnya.
Di sisi lain, jarak elektabilitas dari penantang dan petahana juga masih lumayan besar. Tantangan buat penantang adalah seberapa mampu mereka merebut hampir 50 persen pemilih yangg masih diperebutkan, baik yang sudah memilih tapi masih bisa berubah dan pemilih yang belum punya pilihan di atas 30 persen. Sehingga pertarungan bisa menjadi ketat.
"Kalau lihat survei yang sudah kami hitung di 73 Dapil mencakup 92,9 persen DPT di seluruh Indonesia, maka saya melihat dibandingkan dengan hasil yang tergambarkan lewat beberapa survei nasional yang sudah dipublikasikan, sesungguhnya Pilpres itu juga lebih ketat daripada itu," jelasnya.
Sukses-Gagal Kebijakan

Lantas, apa yang menahan petahana sehingga elektabilitasnya belum melompat di atas 50 persen padahal coblosan tinggal 42 hari lagi? Menurut Eef, tampaknya petahana selalu berhadapan dengan sukses-gagal dalam kebijakan.
Dalam keadaan dianggap baik, kebijakannya dianggap sukses, atau hajat hidup orang banyak dianggap baik, maka petahana akan diuntungkan. "Itu hukum besi Pemilu dimana saja. Petahana sukses, petahana dipilih kembali," katanya.
"Rupanya, asumsi sukses yang seringkali digembar-gemborkan sepihak oleh petahana, tidak terverifikasi lewat data survei. Itu yang menghambat mereka," tegasnya.
Apakah dalam waktu sebulan cukup untuk membuat orang tiba-tiba berpikir sukses terkait sebuah kebijakan? "Berat! Jadi sebetulnya peluang untuk menaikkan penantang itu lebih besar daripada peluang untuk menggerakkan petahana. Itu hukum besi di banyak Pemilu," katanya.
Hukum besi lainnya, yakni kalau petahana mengalami kemandekan atau keterbatasan kenaikan elektoral, maka membalik keadaan menjadi sangat sulit. "Kecuali ada peristiwa yang sungguh luar biasa," ujarnya.
"Jadi saya lihat ini, menurut dugaan saya, siapapun yang menang akan tipis kemenangannya, dan peluang penantang untuk bisa menang sedang terbuka sekarang kalau lihat angka ini," tuntasnya.
ยป Baca Berita Terkait Pilpres 2019, Survei