3 Tahun Stunting di Surabaya Turun Tajam dari 6.722 Tinggal 279 Kasus, Hebat! Gimana Cara Penanganannya?

SURABAYA | Barometer Jatim – Angka stunting di Surabaya turun signifikan dalam tiga tahun atau sejak kepemimpinan Wali Kota Eri Cahyadi. Dinas Kesehatan (Dinkes) Surabaya menyebut hingga akhir 2023 lalu tinggal 279 kasus. Gimana pola pencegahan dan penanganannya?
Kepala Tim Kerja Kesehatan Keluarga dan Gizi Masyarakat Dinkes Surabaya, Sri Lestari membeberkan pola penanganan yang dilakukan Pemkot, yakni dilakukan secara holistik mulai dari hulu ke hilir.
"Kita sudah mengintervensi stunting dari hulu ke hilir. Jadi dari remaja sudah kita intervensi, kita berikan TTD (Tablet Tambah Darah), salah satu intervensi mencegah stunting," terangnya, Senin (12/2/2024).
Dengan pemberian intervensi TTD, lanjut Sri Lestari, maka ketika remaja menjadi calon pengantin (catin) gizinya sudah membaik. Bahkan intervensi dan pendampingan yang dilakukan Pemkot akan semakin masif ketika remaja tersebut menjadi catin.
"Jadi mulai remaja kita perbaiki (gizinya), kita berikan TTD. Kemudian lanjut saat menjadi calon pengantin, itu sudah betul-betul kita dampingi, kita berikan juga intervensi MMS (Multiple Micronutrient Supplement)," bebernya.
Nah, untuk memastikan kesehatan setiap calon pengantin, kata Sri Lestari, Dinkes Surabaya melalui Puskesmas juga melakukan pemeriksaan rutin kepada pasangan catin. Pemeriksaan tak hanya dilakukan dari segi kesehatan tapi juga status gizi KEK (Kekurangan Energi Kronis).
"Jadi kita harapkan di catin selama 3 bulan sebelum dia menikah, itu betul-betul dipersiapkan kondisi tubuhnya sehat," ucapnya.
Intervensi yang diberikan Pemkot dalam mencegah stunting, rupanya tak berhenti di sana. Namun dilanjutkan ketika seorang perempuan memasuki masa kehamilan. Salah satunya melalui Pemberian Makanan Tambahan (PMT) bagi ibu hamil yang mengalami KEK.
"Sehingga pada saat dia mengandung, itu dalam keadaan sehat. Sehingga anaknya nanti jauh dari rawan stunting, kita harapkan seperti itu," ujarnya.
Menurut Sri Lestari, seorang balita masuk kategori rawan stunting, sebenarnya sudah bisa dilihat sejak baru lahir. Dia menyebut, apabila berat badan balita kurang dari 2,5 kilogram atau tinggi kurang dari 48 sentimeter, maka balita itu masuk kategori berpotensi rawan stunting.
TUMBUH SEHAT: Anak-anak di Surabaya tumbuh sehat karena ada intervensi dari Pemkot Surabaya. | Foto: Barometerjatim.com/HPS
"Jadi dari sejak balita sudah bisa dilihat apakah dia akan menjadi stunting, rawan stunting atau tidak. Jadi kita memandangnya dari hulu, dari awal," paparnya.
Ketika ditemukan kasus seperti ini, maka Pemkot akan fokus terhadap perbaikan gizi balita tersebut melalui pemberian makanan tambahan. Lebih dari itu, Pemkot juga memberikan intervensi untuk kesiapan orang tuanya melalui Sekolah Orang Tua Hebat (SOTH).
Data Pemkot Surabaya mencatat, pada 2021 prevalensi balita stunting di Pahlawan mencapai 6.722 kasus. Jumlah tersebut turun pada awal 2023 menjadi 923 kasus. Sementara hingga akhir 2023 semakin turun tajam menjadi 279 kasus.
Pola pencegahan dan penanganan yang dilakukan secara holistik oleh Pemkot, membuat sejumlah wilayah kelurahan di Surabaya zero balita stunting. Di antaranya wilayah Kelurahan Nginden Jangkungan, Kecamatan Sukolilo.
Lurah Nginden Jangkungan, Novy Astiwie mengungkapkan bahwa saat ini di wilayahnya sudah zero balita stunting. Pencegahan dan penanganan stunting pun telah dimasifkannya sejak tahun 2022.
"2022 saat saya masuk menjadi lurah Nginden, itu ada 13 kasus stunting. Kemudian turun di tahun kemarin (2023) tinggal 1 kasus, dan sekarang (2024) sudah zero kasus," ungkap Novy.{*}
PREVELENSI BALITA STUNTING DI SURABAYA
- 2021: 6.722 Kasus
- Awal 2023: 923 Kasus
- Akhir 2023: 279 kasus
| Baca berita Stunting. Baca tulisan terukur Andriansyah | Barometer Jatim - Terukur Bicara Jawa Timur