10 Tahun, Pakde Karwo-Gus Ipul Gagal Entas Kemiskinan Perdesaan

Hampir 10 tahun Jawa Timur dipimpin pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf. Tak dipungkiri sejumlah kemajuan dicapai. Tapi tak boleh alergi dikritisi kalau kemiskinan perdesaan masih tertinggi.
PERTUMBUHAN ekonomi Jawa Timur selalu di atas rata-rata nasional, itu fakta dan membanggakan. Pada semester I/2017, misalnya, tercatat sebesar 5,21 persen atau lebih tinggi dari rata-rata nasional 5,01 persen.
Tapi, di saat yang sama angka kemiskinan relatif tinggi, itu juga fakta dan menyedihkan. Artinya, hampir satu dasawarsa dipimpin pasangan Soekarwo (Pakde Karwo)-Saifullah Yusuf (Gus Ipul) Jatim belum terbebas dari kemiskinan perdesaan.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) yang ter-update setiap enam bulan sekali, dalam tiga tahun terakhir (2015-2017) atau setelah Pakde Karwo-Gus Ipul kembali terpilih, kemiskinan di Jatim kian njomplang antara di perkotaan dan perdesaan.
Pada September 2015, Jatim menempati kemiskinan perdesaan di atas Jawa Tengah dan Jawa Barat (lihat grafis). Setahun berikutnya, sama: Jatim istiqomah tertinggi dalam kemiskinan perdesaan. Pun demikian di 2017, Jatim tak beranjak dari posisi tertinggi dalam kemiskinan di perdesaan.
Jika pertumbuhan ditopang dari sektor pertanian, maka kemungkinan pemilik lahan bukanlah mereka yang berada di desa tersebut. Kalaupun ada, maka sebagian besar dari mereka adalah buruh tani atau punya lahan tapi di bawah 0,3 hektar.
Gubernur Soekarwo, dalam rapat kerja dengan kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) pekan lalu, bahkan menegaskan pengentasan kemiskinan masih menjadi prioritas Pemprov Jatim di 2018. Beberapa cara akan dilakukan, di antaranya dengan meningkatkan pendapatan masyarakat miskin lewat penanggulangan feminisasi kemiskinan.
Kemudian mengurangi pengeluaran masyarakat miskin melalui bantuan pangan beras dari Dinas Sosial, serta melakukan sinergitas program penanggulangan kemiskinan antara pusat dan daerah. Semua program penanggulangan kemiskinan dibiayai oleh anggaran APBD Provinsi Jatim dan share APBN, ujarnya.
Per September 2016, angka kemiskinan di Jatim masih di level 11,85 persen atau lebih tinggi 1,15 persen dari rata-rata nasional. Namun jika dibandingkan dengan 2010 mengalami penurunan 4,83 persen dari posisi 16,68 persen.
Soekarwo menuturkan, problem utama kemiskinan di Jatim masih terkait dengan kemiskinan kultural. Hal ini sangat dipengaruhi derajat kesehatan dan pendidikan, terutama di daerah Madura dan sejumlah wilayah di Tapal Kuda, di antaranya Probolinggo, Situbondo dan Bondowoso.
Sementara bagi Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa yang asli Jatim, penyelesaian kemiskinan di provinsi berpenduduk sekitar 38 juta (data 2015) ini adalah tugas bersama dengan mengedepankan percepatan kesejahteraan.
"Ya itu peta kita, ternyata dari tahun ke tahun kemiskinan perdesan di Jatim itu nomor satu. Ini sekaligus PR kita bagaimana membangun percepatan kesejahteraan," katanya.
Khofifah berharap, pihak kampus turut menyapa desa-desa binaannya dengan sapaan kesejahteraan karena hal itu akan mendorong proses egalitarianisme.
"Kalau kita sudah merasa setara, di situ sebetulnya letak demokrasi," katanya. "Jadi kalau bicara demokrasi, kan dalam konsep demokrasi secara universal ada justice, equality. Tidak disebut demokrasi tanpa ada kesetaraan," tandasnya.
Dalam konteks menyelesaikan kemiskinan, menurut Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim Jatim, Prof Dr H Zainuddin Maliki MA, Jatim membutuhkan pemimpin berikutnya yang benar-benar siap. Pemimpin yang memiliki kapasitas, kapabilitas dan komitmen yang tinggi untuk membawa Jatim lebih baik lagi.
Apalagi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang hampir separuh (47 persen) sumbernya hanya diperoleh dari empat kota: Surabaya, Gresik, Sidoarjo dan Kota Kediri. "Ini berarti yang merasakan kemajuan dan kesejahteraan tinggi hanya di empat kota tersebut," katanya.{*}